PERMASALAHAN PENDIDIKAN MASA KINI

1.       Pendahuluan
Betapapun terdapat banyak kritik yang dilancarkan oleh berbagai kalangan terhadap pendidikan, atau tepatnya terhadap praktek pendidikan, namun hampir semua pihak sepakat bahwa nasib suatu komunitas atau suatu bangsa di masa depan sangat bergantung pada kontribusinya pendidikan. Shane (1984: 39), misalnya sangat yakin bahwa pendidikanlah yang dapat memberikan kontribusi pada kebudayaan di hari esok. Pendapat yang sama juga bisa kita baca dalam penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional (UU No. 20/2003), yang antara lain menyatakan: “Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat”.
Dengan demikian, sebagai institusi, pendidikan pada prinsipnya memikul amanah “etika masa depan”. Etika masa depan timbul dan dibentuk oleh kesadaran bahwa setiap anak manusia akan menjalani sisa hidupnya di masa depan bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya yang ada di bumi. Hal ini berarti bahwa, di satu pihak, etika masa depan menuntut manusia untuk tidak mengelakkan tanggung jawab atas konsekuensi dari setiap perbautan yang dilakukannya sekarang ini. Sementara itu pihak lain, manusia dituntut untuk mampu mengantisipasi, merumuskan nilai-nilai, dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi mangsa dari proses yang semakin tidak terkendali di zaman mereka dikemudian hari (Joesoef, 2001: 198-199).
Dalam konteks etika masa depan tersebut, karenanya visi pendidikan seharusnya lahir dari kesadaran bahwa kita sebaiknya jangan menanti apapun dari masa depan, karena sesungguhnya masa depan itulah mengaharap-harapkan dari kita, kita sendirilah yang seharusnya menyiapkannya (Joesoef, 2001: 198). Visi ini tentu saja mensyaratkan bahwa, sebagai institusi, pendidikan harus solid. Idealnya, pendidikan yang solid adalah pendidikan yang steril dari berbagai permasalahan. Namun hal ini adalah suatu kemustahilan. Suka atau tidak suka, permasalahan akan selalu ada dimanapun dan kapanpun, termasuk dalam institusi pendidikan.
Oleh karena itu, persoalannya bukanlah usaha menghindari permasalahah, tetapi justru perlunya menghadapi permasalahan itu secara cerdas dengan mengidentifikasi dan memahami substansinya untuk kemudian dicari solusinya.
Makalah ini berusaha mengidentifikasi dan memahami permasalahan-permasalahan pendidikan kontemporer di Indonesia. Permasalahan-permasalahan pendidikan dimaksud dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu permasalahan eksternal dan permasalahan internal. Perlu pula dikemukakan bahwa permasalah pendidikan yang diuraikan dalam makalah ini terbatas pada permasalahan pendidikan formal.
1.       Permasalahan Eksternal Pendidikan Masa Kini
Permasalahan eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini sesungguhnya sangat komplek. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan kompleksnya dimensi-dimensei eksternal pendidikan itu sendiri. Dimensi-dimensi eksternal pendidikan meliputi dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan bahkan juga dimensi global.
Dari berbagai permasalahan pada dimensi eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini, makalah ini hanya akan menyoroti dua permasalahan, yaitu permasalahan globalisasi dan permasalahan perubahan sosial.
Permasalahan globalisasi menjadi penting untuk disoroti, karena ia merupakan trend abad ke-21 yang sangat kuat pengaruhnya pada segenap sector kehidupan, termasuk pada sektor pendidikan. Sedangakan permasalah perubahan social adalah masalah “klasik” bagi pendidikan, dalam arti ia selalu hadir sebagai permasalahan eksternal pendidikan, dan karenya perlu dicermati. Kedua permasalahan tersebut merupakan tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan, jika pendidikan ingin berhasil mengemban misi (amanah) dan fungsinya berdasarkan paradigma etika masa depan.
1.       Permasalahan Globalisasi
Globalisasi mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke dalam kehidupan global. Dalam bidang ekonomi, misalnya, globalisasi ekonomi berarti terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia atau global (Fakih, 2003: 182). Bila dikaitkan dalam bidang pendidikan, globalisasi pendidikan berarti terintegrasinya pendidikan nasional ke dalam pendidikan dunia. Sebegitu jauh, globalisasi memang belum merupakan kecenderungan umum dalam bidang pendidikan. Namun gejala kearah itu sudah mulai Nampak.
Sejumlah SMK dan SMA di beberapa kota di Indonesia sudah menerapkan sistem Manajemen Mutu (Quality Management Sistem) yang berlaku secara internasional dalam pengelolaan manajemen sekolah mereka, yaitu SMM ISO 9001:2000; dan banyak diantaranya yang sudah menerima sertifikat ISO.
Oleh karena itu, dewasa ini globalisasi sudah mulai menjadi permasalahan actual pendidikan. Permasalahan globalisasi dalam bidang pendidikan terutama menyangkut output pendidikan. Seperti diketahui, di era globalisasi dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma tentang keunggulan suatu Negara, dari keunggulan komparatif (Comperative adventage) kepada keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan sumber daya alam, sementara keunggulan kompetitif bertumpu pada pemilikan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas (Kuntowijoyo, 2001: 122).
Dalam konteks pergeseran paradigma keunggulan tersebut, pendidikan nasional akan menghadapi situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena harus berhadapan dengan kekuatan pendidikan global. Hal ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa globalisasi justru melahirkan semangat cosmopolitantisme dimana anak-anak bangsa boleh jadi akan memilih sekolah-sekolah di luar negeri sebagai tempat pendidikan mereka, terutama jika kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri secara kompetitif under-quality (berkualitas rendah). Kecenderungan ini sudah mulai terlihat pada tingkat perguruan tinggi dan bukan mustahil akan merambah pada tingkat sekolah menengah.
Bila persoalannya hanya sebatas tantangan kompetitif, maka masalahnya tidak menjadi sangat krusial (gawat). Tetapi salah satu ciri globalisasi ialah adanya “regulasi-regulasi”. Dalam bidang pendidikan hal itu tampak pada batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan tentang sekolah berstandar internasional. Pada jajaran SMK regulasi sekolah berstandar internasional tersebut sudah lama disosialisasikan. Bila regulasi berstandar internasional ini kemudian ditetapkan sebagai prasyarat bagi output pendidikan untuk memperolah untuk memperoleh akses ke bursa tenaga kerja global, maka hal ini pasti akan menjadi permasalah serius bagi pendidikan nasional.
Globalisasi memang membuka peluang bagi pendidikan nasional, tetapi pada waktu yang sama ia juga mengahadirkan tantangan dan permasalahan pada pendidikan nasional. Karena pendidikan pada prinsipnya mengemban etika masa depan, maka dunia pendidikan harus mau menerima dan menghadapi dinamika globalisasi sebagai bagian dari permasalahan pendidikan masa kini.
1.       Permasalahan perubahan sosial
Ada sebuah adegium yang menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi, semuanya berubah; satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Itu artinya, perubahan sosial merupakan peristiwa yang tidak bisa dielakkan, meskipun ada perubahan sosial yang berjalan lambat dan ada pula yang berjalan cepat.
Bahkan salah satu fungsi pendidikan, sebagaimana dikemukakan di atas, adalah melakukan inovasi-inovasi sosial, yang maksudnya tidak lain adalah mendorong perubahan sosial. Fungsi pendidikan sebagai agen perubahan sosial tersebut, dewasa ini ternyata justru melahirkan paradoks.
Kenyataan menunjukkan bahwa, sebagai konsekuansi dari perkembangan ilmu perkembangan dan teknologi yang demikian pesat dewasa ini, perubahan sosial berjalan jauh lebih cepat dibandingkan upaya pembaruan dan laju perubahan pendidikan. Sebagai akibatnya, fungsi pendidikan sebagai konservasi budaya menjadi lebih menonjol, tetapi tidak mampu mengantisipasi perubahan sosial secara akurat (Karim, 1991: 28). Dalam kaitan dengan paradoks dalam hubungan timbal balik antar pendidikan dan perubahan sosial seperti dikemukakan di atas, patut kiranya dicatat peringatan Sudjatmoko (1991:30) yang menyatakan bahwa Negara-negara yang tidak mampu mengikuti revolusi industri mutakhir akan ketinggalan dan berangsur-angsur kehilangan kemampuan untuk mempertahankan kedudukannya sebagai Negara merdeka. Dengan kata lain, ketidakmampuan mengelola dan mengikuti dinamika perubahan sosial sama artinya dengan menyiapkan keterbelakangan. Permasalahan perubahan sosial, dengan demikian harus menjadi agenda penting dalam pemikiran dan praksis pendidikan nasional.
1.       Permasalahan Internal Pendidikan Masa Kini
Seperti halnya permasalahan eksternal, permasalahan internal pendidikan di Indonesia masa kini adalah sangat kompleks. Daoed Joefoef (2001: 210-225) misalnya, mencatat permasalahan internal pendidikan meliputi permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan strategi pembelajaran, peran guru, dan kurikulum. Selain ketiga permasalahan tersebut sebenarnya masih ada jumlah permasalahan lain, seperti permasalahan yang berhubungan dengan sistem kelembagaan, sarana dan prasarana, manajemen, anggaran operasional, dan peserta didik. Dari berbagai permasalahan internal pendidikan dimaksud, makalah ini hanya akan membahas tiga permasalahan internal yang di pandang cukup menonjol, yaitu permasalahan sistem kelembagaan, profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran.
1.       Permasalahan sistem kelembagaan pendidikan
Permasalahan sistem kelembagaan pendidikan yang dimaksud dengan uraian ini ialah mengenai adanya dualisme atau bahkan dikotomi antar pendidikan umum dan pendidikan agama. Dualisme atau dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama ini agaknya merupakan warisan dari pemikiran Islam klasik yang memilah antara ilmu umum dan ilmu agama atau ilmu ghairuh syariah dan ilmu syariah, seperti yang terlihat dalam konsepsi al-Ghazali (Otman, 1981: 182).
Dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan yang berlaku di negeri ini kita anggap sebagai permasalahan serius, bukan saja karena hal itu belum bisa ditemukan solusinya hingga sekarang, melainkan juga karena ia, menurut Ahmad Syafii Maarif (1987:3) hanya mampu melahirkan sosok manusia yang “pincang”. Jenis pendidikan yang pertama melahirkan sosok manusia yang berpandangan sekuler, yang melihat agama hanya sebagai urusan pribadi.
Sedangkan sistem pendidikan yang kedua melahirkan sosok manusia yang taat, tetapi miskim wawasan. Dengan kata lain, adanya dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan tersebut merupakan kendala untuk dapat melahirkan sosok manusia Indonesia “seutuhnya”. Oleh karena itu, Ahmad Syafii Maarif (1996: 10-12) menyarankan perlunya modal pendidikan yang integrative, suatu gagasan yang berada di luar ruang lingkup pembahasan makalah ini.
1.       Permasalahan Profesionalisme Guru
Salah satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses pembelajaran adalah pendidik atau guru. Betapapun kemajuan taknologi telah menyediakan berbagai ragam alat bantu untuk meningkatkan efektifitas proses pembelajaran, namun posisi guru tidak sepenuhnya dapat tergantikan. Itu artinya guru merupakan variable penting bagi keberhasilan pendidikan.
Menurut Suyanto (2006: 1), “guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah kondisi seorang anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar baca tulis alfabetikal maupun fungsional yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi tokoh kebanggaan komunitas dan bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan: “guru yang demikian tentu bukan guru sembarang guru. Ia pasti memiliki profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa “digugu lan ditiru”.
Lebih jauh Suyanto (2006: 28) menjelaskan bahwa guru yang profesional harus memiliki kualifikasi dan ciri-ciri tertentu. Kualifikasi dan ciri-ciri dimaksud adalah: (a) harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat, (b) harus berdasarkan atas kompetensi individual, (c) memiliki sistem seleksi dan sertifikasi, (d) ada kerja sama dan kompetisi yang sehat antar sejawat, (e) adanya kesadaran profesional yang tinggi, (f) meliki prinsip-prinsip etik (kide etik), (g) memiliki sistem seleksi profesi, (h) adanya militansi individual, dan (i) memiliki organisasi profesi.
Dari ciri-ciri atau karakteristik profesionalisme yang dikemukakan di atas jelaslah bahwa guru tidak bisa datang dari mana saja tanpa melalui sistem pendidikan profesi dan seleksi yang baik. Itu artinya pekerjaan guru tidak bisa dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan, atau pekerjaan sebagai moon-lighter. Namun kenyataan dilapangan menunjukkan adanya guru terlebih terlebih guru honorer, yang tidak berasal dari pendidikan guru, dan mereka memasuki pekerjaan sebagai guru tanpa melalui system seleksi profesi. Singkatnya di dunia pendidikan nasional ada banyak, untuk tidak mengatakan sangat banyak, guru yang tidak profesioanal. Inilah salah satu permasalahan internal yang harus menjadi “pekerjaan rumah” bagi pendidikan nasional masa kini.
1.       Permasalahan Strategi Pembelajaran
Menurut Suyanto (2006: 15-16) era globalisasi dewasa ini mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu memberdayakan para peserta didik. Tuntutan global telah mengubah paradigma pembelajaran dari paradigma pembelajaran tradisional ke paradigma pembelajaran baru. Suyanto menggambarkan paradigma pembelajaran sebagai berpusat pada guru, menggunakan media tunggal, berlangsung secara terisolasi, interaksi guru-murid berupa pemberian informasi dan pengajaran berbasis factual atau pengetahuan.
Paulo Freire (2002: 51-52) menyebut strategi pembelajaran tradisional ini sebagai strategi pelajaran dalam “gaya bank” (banking concept). Di pihak lain strategi pembelajaran baru digambarkan oleh Suyanto sebagai berikut: berpusat pada murid, menggunakan banyak media, berlangsung dalam bentuk kerja sama atau secara kolaboratif, interaksi guru-murid berupa pertukaran informasi dan menekankan pada pemikiran kritis serta pembuatan keputusan yang didukung dengan informasi yang kaya. Model pembelajaran baru ini disebut oleh Paulo Freire (2000: 61) sebagai strategi pembelajaran “hadap masalah” (problem posing).
Meskipun dalam aspirasinya, sebagaimana dikemukakan di atas, dewasa ini terdapat tuntutan pergeseran paradigma pembelajaran dari model tradisional ke arah model baru, namun kenyataannya menunjukkan praktek pembelajaran lebih banyak menerapkan strategi pembelajaran tradisional dari pembelajaran baru (Idrus, 1997: 79). Hal ini agaknya berkaitan erat dengan rendahnya professionalisme guru.
1.       Kesimpulan dan Saran
Permasalahan pendidikan di Indonesia masa kini sesungguhnya sangat kompleks. Makalah ini dengan segala keterbatasannya, hanya sempat menyoroti beberapa diantaranya yang dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu permasalahan eksternal dan internal. Dalam permasalahan eksternal di bahas masalah globalisasi dan masalah perubahan social sebagai lingkungan pendidikan.
Sedangkan menyangkut permasalahan internal disoroti masalah system kelemahan (dialisme dikotomi), profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran. Dari pemahaman terhadap sejumlah permasalahan dimaksud di atas dapat disimpulkan bahwa berbagai permasalahan pendidikan yang komplek itu, baik eksternal maupun internal adalah saling terkait.
Hal ini tentu saja menyarankan bahwa pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan tidak bisa dilakukan secara parsial; yang merupakan pendekatan terpadu. Bagaimanapun, permasalahan-permasalahan di atas yang belum merupakan daftar lengkap, harus kita hadapi dengan penuh tanggung jawab. Sebab, jika kita gagal menemukan solusinya maka kita tidak bisa berharap pendidikan nasional akan mampu bersaing secara terhormat di era globalisasi dewasa ini.
Sebagai insan yang berpendidikan, kita tentu masih terus berharap akan datangnya perubahan fundamental terhadap sistem pendidikan kita. rasa optimis menatap masa depan wajib terbersit di lubuk hati kita semua, meskipun banyak sekali problem yang belum terentaskan. Rasa optimis menjadi “kata kunci” (key word) bagi semua idealisme perubahan itu. Seperti Paulo freire yang telah berhasil memerdekakan rakyat Brazil dari buta huruf, keterbelakangan, dan kemiskinan. Kita tidak bisa membayangkan, betapa besar rasa optimis seorang Freire sewaktu berjuang dengan sekuat tenaga dan pikirannya untuk membebaskan rakyat Brazil dari buta huruf, keterbelakangan, dan kemiskinan itu.
Meskipun banyak problem yang dihadapi oleh pendidikan nasional, namun itu semua tidak boleh menyurutkan semangat kita. Bagaimanapun juga, pendidikan nasional merupakan investasi bagi masa depan bangsa. Sebab, melalui pendidikan nasional, masa depan bangsa sedang dirancang sebaik mungkin dengan cara mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang tidak kalah kualitasnya dengan negara-negara lain. Kita perlu mengingat kembali kata Cicero, “Pekerjaan apakah yang lebih mulia, atau yang lebih bernilai bagi negara, daripada mengajar generasi yang sedang tumbuh?”.
Dengan demikian, sebagai seorang yang berada di dunia pendidikan kita tidak perlulah merasa putus asa. Ini seperti yang dikatakan oleh Suyanto (2006: ), Sitem pendidikan nasional sedang beranjak menuju perubahan. Akan tetapi, perubahan itu jelas tidak bisa dalam sekali waktu yang langsung memperlihatkan hasil secara maksimal. Sebab, mengelola sistem pendidikan nasional ibarat menanam modal (investasi) untuk jangka panjang. Tetapi wujud keberhasilannya tidak seketika. Jika investasi dalam bentuk bisnis jelas akan menghasilkan untung-rugi secara riil, karena dapat diukur dengan besarnya nominal rupiah. Namun investasi pendidikan adalah berbentuk kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang riil bagi generasi bangsa. Karena tujuan nasional pendidikan kita adalah untuk membangun mentalitas yang berkarakter.
Daftar Pustaka

Fakih, Mansour, 2000. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo, 2000. Pendidikan Kaum Tertindas, alih bahasa Oetomo Dananjaya dkk. Jakarta: LP3ES.
Joesoef, Daoed, 2001. “Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran”, dalam Sularto    ( ed ). Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Antara Cita dan Fakta. Jakarta: Kompas.
Karim, M. Rusli. 1991, “Pendidikan Islam sebai Upaya Pembebasan Manusia”, dalam Muslih Usa (ed.).Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo, 2001. Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. Bandung: Mizan.
Maarif, Ahmad Syafii, 1987. “Masalah Pembaharuan Pendidikan Islam”, dalam Ahmad Busyairi dan Azharudin Sahil ( ed .). Tantangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: LPM UII.
Maarif. Ahmad Syafii, 1996. “Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat”. Jurnal Pendidikan Islam, No. 2 Th.I/Oktober 1996.
Othman, Ali Issa, 1981. Manusia Menurut al-Ghazali, alih bahasa Johan Smit dkk. Bandung: Pustaka.
Shane, Harlod G., 1984. Arti Pendidikan bagi Masa Depan. Jakarta: Rajawali Pers.
Soedjatmoko, 1991. “Nasionalisme sebagai Prospek Belajar”, Prisma, No. 2 Th. XX, Februari.
Suyanto, 2006. Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percanturan Dunia Global). Jakarta: PSAP Muhammadiyah

Allah : Nama Tuhan

Kata ‘Allah’ merupakan nama Tuhan yang paling populer. Apabila anda berkata :”Allah..”, maka apa yang anda ucapkan itu telah mencakup semua nama-nama-Nya yang lain, sedangkan bila anda mengucapkan nama-nama-Nya yang lain – misalnya ‘ar-Rahmaan’, ‘al-Malik’ dan sebagainya – maka ia hanya menggambarkan sifat Rahman, atau sifat kepemilikan-Nya. Disisi lain, tidak satupun dapat dinamakan Allah, baik secara hakikat maupun secara majazi, sedangkan sifat-sifat-Nya yang lain – secara umum – dapat dikatakan bisa disandang oleh makhluk-makhluk-Nya. Bukankah kita dapat menamakan si Ali yang pengasih sebagai ‘Rahiim’?, atau Ahmad yang berpengetahuan sebagai ‘Aliim’?. Secara tegas, Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri yang menamakan dirinya Allah. 14. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Thaahaa). Innanii = sesungguhnya Aku, anaa = Aku, Allaahu = Allah, laa ilaaha = tidak ada tuhan, illaa = melainkan, ana = Aku… Dia juga dalam Al-Qur’an yang bertanya :”hal ta’lamu lahuu samiyyaa..” (Surat Maryam ayat 19). Ayat ini, dipahami oleh pakar-pakar Al-Qur’an bermakna :”Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang bernama seperti nama ini..?” atau :”Apakah engkau mengetahui sesuatu yang berhak memperoleh keagungan dan kesempurnaan sebagaimana pemilik nama itu (Allah)?” atau bermakna :”Apakah engkau mengetahui ada nama yang lebih agung dari nama ini?”, juga dapat berarti :”Apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” Pertanyaan-pertanyaan yang mengandung makna sanggahan ini kesemuanya benar, karena hanya Tuhan Yang Maha Esa yang wajib wujudnya itu yang berhak menyandang nama tersebut, selain-Nya tidak ada, bahkan tidak boleh. Hanya Dia yang berhak memperoleh keagungan dan kesempurnaan mutlak, sebagaimana tidak ada nama yang lebih agung dari nama-Nya itu. Para ulama dan pakar bahasa mendiskusikan kata tersebut antara lain apakah ia memiliki akar kata atau tidak. Sekian banyak ulama yang berpendapat bahwa kata ‘Allah’ tidak terambil dari satu akar kata tertentu, tapi ia adalah nama yang menunjuk kepada zat yang wajib wujud-Nya, yang menguasai seluruh hidup dan kehidupan, serta hanya kepada-Nya seharusnya seluruh makhluk mengabdi dan bermohon. Tetapi banyak ulama berpendapat, bahwa kata ‘Allah’ asalnya adalah ‘Ilaah’, yang dibubuhi huruf ‘Alif’ dan ‘Laam’ dan dengan demikian, ‘Allah’ merupakan nama khusus, karena itu tidak dikenal bentuk jamaknya. Sedangkan ‘Ilaah’ adalah nama yang bersifat umum dan yang dapat berbentuk jamak (plural), yaitu ‘Alihah’. Dalam Bahasa Inggeris, baik yang bersifat umum maupun khusus, keduanya diterjemahkan dengan ‘god’, demikian juga dalam Bahasa Indonesia keduanya dapat diterjemahkan dengan ‘tuhan’, tapi cara penulisannya dibedakan. Yang bersifat umum ditulis dengan huruf kecil ‘god/tuhan’, dan yang bermakna khusus ditulis dengan huruf besar ‘God/Tuhan’. ‘Alif’ dan ‘Laam’ yang dibubuhkan pada kata ‘Ilaah’ berfungsi menunjukkan bahwa kata yang dibubuhi tersebut merupakan sesuatu yang telah dikenal dalam benak. Kedua huruf tersebut sama dengan ‘The’ dalam bahasa Inggeris. Kedua huruf tambahan itu menjadi kata yang dibubuhi menjadi ‘ma’rifat’ atau ‘definite’ (diketahui/dikenal). Pengguna Bahasa Arab mengakui bahwa Tuhan yang dikenal dalam benak mereka adalah Tuhan Pencipta, berbeda dengan tuhan-tuhan (aliihah/bentuk jamak dari ilaah) yang lain. Selanjutnya dalam perkembangannya lebih jauh dan dengan alasan mempermudah, ‘hamzah’ yang berada antara dua ‘laam’ yang dibaca ‘i’ pada kata ‘al-Ilaah’ tidak dibaca lagi, sehingga berbunyi ‘Allah’ dan sejak itulah kata ini seakan-akan telah merupakan kata baru yang tidak memiliki akar kata, sekaligus sejak itu pula kata ‘Allah’ menjadi nama khusus bagi Pencipta dan Pengatur alam raya yang wajib wujud-Nya. Sementara ulama berpendapat bahwa kata ‘Ilaah’ yang darinya terbentuk kata ‘Allah’ berakar dari kata ‘al-Ilaahah’, ‘al-Uluuhah’ dan ‘al-Uluuhiyyah’ yang kesemuanya menurut mereka bermakna ‘ibadah/penyembahan’, sehingga ‘Allah’ secara harfiah bermakna ‘Yang Disembah’. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut berakar dari kata ‘Alaha’ dalam arti ‘mengherankan’ atau ‘menakjubkan’ karena segala perbuatan/ciptaan-Nya menakjubkan atau karena bila dibahas hakekat-Nya akan mengherankan akibat ketidak-tahuan makhluk tentang hakekat zat Yang Maha Agung itu. Apapun yang terlintas dalam benak menyangkut hakekat zat Allah, maka Allah tidak demikian. Itu sebabnya ditemukan riwayat yang menyatakan :”Berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir tentangZat-Nya”. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ‘Allah’ terambil dari akar kata ‘Aliiha Ya’lahuu” yang berarti ‘tenang’, karena hati menjadi tenang bersama-Nya, atau dalam arti ‘menuju’ dan ‘bermohon’ karena harapan seluruh makhluk tertuju kepada-Nya dan kepada-Nya jua makhluk bermohon. Memang setiap yang dipertuhankan pasti disembah dan kepadanya tertuju harapan dan permohonan lagi menakjubkan ciptaannya, tetapi apakah itu berarti bahwa kata ‘Ilaah’ – dan juga ‘Allah’ – secara harfiah bermakna demikian..? , dapat dipertanyakan apakah bahasa atau Al-Qur’an yang menggunakannya untuk makna ‘yang disembah’?. Kalau anda menemukan semua kata ‘Ilaah’ dalam Al-Qur’an, niscaya akan anda temukan bahwa kata itu lebih dekat untuk dipahami sebagai penguasa, pengatur alam raya atau dalam genggaman-Nya segala sesuatu, walaupun tentunya yang meyakini demikian, ada yang salah pilih ‘ilaah’nya. Kata ‘Allah’ mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh kata selainnya, ia adalah kata-kata yang sempurna huruf-hurufnya, sempurna maknanya, serta memiliki kekhususan berkaitan dengan rahasianya, sehingga sementara ulama menyatakan bahwa kata itulah yang dinamai ‘Ismu-Ilaah al-A’zham (Nama Allah yang paling mulia). Yang bila diucapkan dalam do’a, Allah akan mengabulkannya. Dari segi lafaz terlihat keistimewaan ketika dihapus huruf-hurufnya. Bacalah kata ‘Allah’ dengan menghapus huruf awalnya, akan berbunyi ‘Lilaah’ dalam arti ‘milik/bagi Allah’, kemudian hapus huruf awal dari kata ‘Lilaah’, itu akan terbaca ‘Laahu’ dalam arti ‘bagi-Nya’, selanjutnya, hapus lagi huruf awal dari ‘Laahu’, akan terdengan dalam ucapan ‘Huu’, yang berarti ‘Dia (menunjuk Allah), dan apabila itupun dipersingkat akan terdengar suara ‘Ah’ yang sepintas atau pada lahirnya mengandung makna keluhan, tapi pada hakekatnya mengandung makna permohonan kepada Allah. Karena itu sementara ulama berkata bahwa kata ‘Allah’ terucap oleh manusia, sengaja atau tidak sengaja, suka atau tidak suka. Itulah salah satu bukti adanya ‘fitrah’ dalam diri manusia. Al-Qur’an juga menegaskan bahwa sikap orang-orang musyrik adalah : 38. Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah". (Az Zumar) dari segi makna dapat dikatakan bahwa kata ‘Allah’ mencakup segala sifat-sifat-Nya, bahkan Dia-lah yang menyandang nama-nama tersebut, karena itu jika anda berkata “Yaa..Allah..”, maka semua nama-nama/sifat-sifat-Nya telah tercakup oleh kata tersebut. Disisi lain, jika anda berkata ‘ar-Rahiim’, maka sesungguhnya yang anda maksud adalah Allah. Demikian juga ketika anda menyebut ‘al-Muntaqim’ (yang membalas kesalahan), namun kandungan makna ‘ar-Rahiim’ (Yang Maha Pengasih) tidak tercakup didalam pembalasan-Nya, atau sifat-sifat-Nya yang lain. Itulah salah satu sebab mengapa dalam syahadat seseorang selalu harus menggunakan kata ‘Allah’ ketika mengucapkan ‘Asyhadu an Laa Ilaaha Illa-llaah’ dan tidak dibenarkan menggantinya dengan nama-nama-Nya yang lain. Demikianlah Allah, karena itu tidak heran jika ditemukan sekian banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang memerintahkan orang-orang beriman agar memperbanyak zikir menyebut nama Allah, karena itu setiap perbuatan yang penting hendaknya dimulai dengan menyebut nama itu, nama Allah. Rasulullah bahkan mengajarkan lebih rinci lagi :”Tutuplah pintumu dan sebutlah nama Allah, padamkanlah lampumu dan sebutlah nama Allah, tutuplah periukmu dan sebutlan nama Allah, rapatkanlah kendi airmu dan sebutlah nama Allah…”

Alkitab di Dunia Modern

BEBERAPA TANDA-TANYA YANG DIAJUKAN BELAKANGAN INI Keadaan yang saya gariskan di atas ini berlaku kira-kira sampai tahun 1960, maka mulai tahun enam puluhan itu iklim teologia mengalami perubahan yang cukup hebat. Pola teologia yang bersifat otoriter, yaitu yang mengutamakan konsep penyataan, dan terutama teologia yang nampak dalam gerakan neo-orthodox, telah kehilangan daya-gerak dan daya-rangsangnya. Apa yang disebut "teologia filosofis bertentangan dengan "teologia Alkitabiah," telah nampak berpengaruh kembali. Ide-ide, yang oleh kaum neo-orthodox dianggap termasuk liberalisme yang sudah usang, sedang diperbincangkan kembali. Kadang-kadang timbullah kesan seolah-olah revolusi keneo-orthodoxan itu dalam bidang teologia tidak pernah terjadi, melihat bahwa begitu banyak prinsip-pokok dari pada gerakan neo-orthodox itu disangkal atau diabaikan. Sebab-sebab perobahan yang demikian itu terletak di luar jangkauan uraian kita ini. Cukuplah kalau saya mencatat di sini beberapa pokok yang merupakan aspek-aspek dari perubahan iklim teologis ini, dan yang mungkin membantu kita melihat beberapa sebab, mengapa perobahan tersebut terjadi. 1. Persoalan-persoalan kritik-historis belum terpecahkan Pokok pertama, ialah perasaan bahwa kita belum sungguh-sungguh mendalami persoalan-persoalan yang dihadapkan pada penyelidikan Alkitab oleh metode-metode riset modern, misalnya metode kritik historis dan metode perbandingan agama. Konsensus yang terdapat pada periode sesudah-perang memang mentoleransi metode-metode penyelidikan yang demikian, tetapi tidak mengijinkan metode-metode itu menentukan soal. Keneo-orthodoxan, kalau dinilai dalam terang keadaan sekarang, agaknya lebih dekat kepada konservatisme Alkitabiah dari pada yang dirasakan oleh para penganutnya pada waktu itu. Pada masa kini banyak ahli teologia beranggapan bahwa semua teknik-teknik penelitian yang ada harus diberi penilaian teologis yang lebih positif dari pada apa yang mungkin diberi di bawah norma-norma keneo-orthodoxan. 2. Betulkah Alkitab harus dibaca sebagai keseluruhan? Kedua, timbul keraguan tentang kemutlakan dari pada prinsip bahwa Alkitab harus dibaca sebagai keseluruhan. Bahkan sekarang ada para ahli yang menekankan bahwa keanekaragaman dan perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam Alkitab merupakan ciri Alkitab yang lebih representatif dibandingkan dengan kesatuannya, bahkan merupakan pedoman yang lebih membantu dalam mencapai makna Alkitab yang sebenarnya. Usaha untuk menjadikan cara berpikir Ibrani sebagai kunci kesatuan Alkitab telah ditinggalkan. Kita telah mencatat di atas ini bahwa ditekankannya Alkitab sebagai keseluruhan, timbul sebagai reaksi terhadap pendekatan analitis. Maka pada taraf berikutnya lagi, menjelang periode sesudah-perang, perhatian para ahli kepada metode-metode penafsiran yang bersifat sintetis, membawa akhirnya kepada sesuatu yang agak mirip dengan harmonisasi yang kolot. Sehingga dalam rangka reaksi berikutnya, para ahli meninggalkan sintese itu dan kembali lagi kepada pendekatan analitis sebagai metode yang rasanya lebih segar. Maka kita menghadapi kenyataan bahwa pada masa kini para ahli memberi penilaian yang berlain-lainan kepada bagian-bagian Alkitab yang berlain-lainan. Perkembangan mutakhir ini cukup nampak dalam bidang Perjanjian Lama. Teolog-teolog neo-orthodox seperti Barth menganggapnya suatu aksioma bahwa Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru merupakan satu kesatuan dalam hal kewibawaannya. Barang siapa yang meragukan prinsip itu menyatakan diri tidak terikat lagi kepada tradisi Kristen yang historis, yang dibangun atas dasar para nabi dan para rasul. Sedangkan pada masa kini kita menghadapi kecenderungan untuk menilai Perjanjian Lama lebih rendah dibandingkan dengan Perjanjian Baru. 3. Reaksi terhadap Berkhotbah secara exegetis Pokok ketiga ialah bahwa di sana-sini pada masa kini muncul reaksi-reaksi yang cukup tajam terhadap prinsip "berkhotbah secara exegetis." Ada seorang tokoh gereja yang berkata begini: "Saya sering berkhotbah tanpa nats, atau malah dengan menggunakan nats dari sumber non-Alkitabiah, misalnya dari Kierkegaard (atau dari surat kabar)."1 Menurut anggapan modern ini, tugas gereja ialah untuk menyatakan dengan tegas apa yang dipercayainya masa kini, bukan untuk menguraikan suatu nats yang dikutip dari dokumen kuna. Gereja tidak dapat berbicara dan tidak pernah berbicara berdasarkan sesuatu sumber kewibawaan di luar dirinya; maka kalau gereja merasa dirinya mempunyai sumber kewibawaan yang demikian, dia hanya seolah-olah menipu dirinya. Pembicaraan Kristen bertolak dari apa yang diyakini orang Kristen masa kini. Maka berdasarkan itulah gereja menganjurkan kepada orang lain, supaya mereka ikut menerima dan mengamini apa yang diyakini oleh gereja kontemporer. Dalam proses komunikasi yang demikian itu maka soal apakah titik-tolak harus berbentuk nats Alkitab sebagai sumber kewibawaan atau tidak merupakan persoalan yang tidak penting. Tokoh yang kita kutip di atas melanjutkan sebagai berikut: "Saya harus mengakui bahwa sikap yang menjiwai khotbah-khotbah saya pada masa kini adalah begini: 'Inilah pengertianku tentang letaknya soal. Apakah kamu juga tidak dapat mengikuti pengertian ini.'" 4. Persoalan-persoalan tentang exegesis di kalangan "oikumenis" a. Reaksi terhadap pendapat bahwa "Alkitab merupakan landasan Kesatuan" Dalam bidang diskusi oikumenis, Dewan Gereja-gereja sedunia telah menjadi sadar akan adanya rasa ketidakpuasan yang cukup tersebar, terutama antara ahli-ahli Alkitab, tentang cara Alkitab digunakan dalam paper-paper (kertas-kertas-kerja) penelitian oikumenis pada periode sesudah-perang. Bahkan pada puncaknya, rasa ketidakpuasan itu mengakibatkan suatu keretakan yang cukup mendalam antara ahli-ahli exegesis dan teolog-teolog oikumenis. Maka adanya keretakan itu merupakan sebab utama, mengapa Dewan Gereja-gereja sedunia memulai suatu penelitian oikumenis yang baru tentang kewibawaan Alkitab. Dokumen penelitian, yang disiapkan untuk merangsang riset itu, dapat dibaca dalam The Ecumenical Review no. 21 tahun 1969 halaman 135-166. Jelas dari dokumen penelitian tersebut bahwa para penyusunnya telah undur dari konsep bahwa hanya Alkitab yang merupakan unsur pemersatu, yang dimiliki bersama oleh gereja-gereja yang masih terpisah-pisah: "Asumsi (anggapan) bahwa semua gereja memiliki Alkitab sebagai milik-bersama, merupakan konsep kabur, sebelum soal kewibawaan Alkitab dijelaskan; dan harapan bahwa usaha-bersama dalam bidang exegesis akan mengantar kita kepada pengertian-bersama tentang kebenaran Kristen, nampak sekarang sebagai harapan yang naif atau sedikit-dikitnya terlampau prematur (gegabah)."2 b. Diskusi tentang metode-metode hermeneutik Salah satu faktor yang agaknya ikut menimbulkan keragu-raguan baru tentang status Alkitab ialah diskusi tentang hermeneutik atau metode-metode penafsiran Alkitab yang berlangsung hangat di kalangan teologis pada tahun limapuluhan dan enampuluhan. Penelitian tentang kewibawaan Alkitab yang dilangsungkan oleh Dewan Gereja-gereja sedunia itupun timbul dari penelitian yang mendahuluinya, yaitu penelitian diskusi mengenai hermeneutik. Karena dengan sendirinya pembahasan tentang hermeneutik menyangkut suatu penelitian tentang konsep kewibawaan Alkitab. Dan secara lebih umum, ditekankannya keanekaragaman dalam metode-metode menginterpretasikan Alkitab agaknya mengurangi harapan bahwa orang Kristen dapat bersandar begitu saja kepada kewibawaan Alkitab. Kalau soal ini dirumuskan secara sederhana, dapat dikatakan demikian: Alkitab memberi kesan yang lain kalau ditafsirkan menurut metode A dibandingkan dengan kesannya kalau ditafsirkan menurut metode B. Kalau demikian, bagaimana Alkitab itu sendiri dapat dianggap sebagai patokan yang menentukan? Tidak usah kita mengejar seluk-beluk diskusi itu: cukuplah kalau kita mencatat sebagai kenyataan historis bahwa diskusi tentang hermeneutik itu agaknya merupakan jalan yang membawa kepada keraguan tentang kewibawaan Alkitab seperti yang nampak di gereja masa kini. 5. Kesimpulan Sementara Ditinjau dari berbagai segi, sebagaimana dibentangkan di atas ini, agaknya kita sudah kembali pada masa kini kepada suatu situasi, dimana status dan nilai Alkitab diragu-ragukan, dibandingkan dengan suasana periode sesudah-perang. Bahkan kita harus menghadapi kemungkinan bahwa keraguan yang kita alami sekarang ini akan menjadi suasana yang permanen. Selama periode, ketika kewibawaan Alkitab itu dijunjung tinggi, orang berkesimpulan bahwa pengakuan akan kewibawaan Alkitab itu merupakan keadaan yang normal, sehingga keragu-raguan tentang status Alkitab itu nampak sebagai suatu gangguan-sementara terhadap keadaan yang normal, keadaan yang sudah lazim. Tetapi pada kenyataannya, keyakinan akan kewibawaan Alkitab itu telah merosot kembali dengan cepat sekali. Maka timbullah pemikiran yaitu bahwa jangan-jangan sebaliknya, yakni keragu-raguan tentang status Alkitab itulah yang menjadi keadaan normal dalam kehidupan gereja modern. 6. Reaksi merupakan fenomena yang terbatas Meskipun demikian, kita harus berhati-hati supaya jangan kita melebih-lebihkan pengaruh sikap kritis terhadap status Alkitab itu. Ada beberapa pokok yang dapat kita catat: a. Fenomena nampak terutama di kalangan yang berbahasa Inggris Pertama, keragu-raguan tentang status Alkitab itu tidak merata di seluruh gereja internasional. Rumusannya yang paling radikal terdapat di kalangan-kalangan yang berbahasa Inggris, baik di Inggris sendiri maupun di Amerika Serikat. Menurut kesan saya, keragu-raguan terdapat juga antara para teolog di Eropa. Tetapi keragu-raguan di situ agaknya berkisar pada soal tentang cara mengartikan kewibawaan Alkitab itu. Sedangkan para teolog di kalangan yang berbahasa Inggris merumuskan pertanyaannya secara lebih radikal. Mengapa kita harus sampai mengaku kewibawaan Alkitab? Mengapa sampai koleksi kitab-kitab kuna ini dianggap lebih berpengaruh atau lebih berwibawa pada jaman modern ini, dibandingkan dengan buku-buku lain? Dan mengapa sampai konsep-konsep Alkitab dianggap lebih menentukan dibandingkan dengan konsep-konsep yang kita peroleh dari sumber-sumber lain, sumber kuna maupun sumber modern, yang tertulis maupun yang lisan? Kalau kita mencari akar-akar bertumbuhnya keragu-raguan yang radikal terhadap status Alkitab ini, mungkin dapat diusulkan yang berikut: Pertama, bahwa filsafat empiris (berdasarkan penyelidikan kenyataan) memang berpengaruh sekali di kalangan-kalangan yang berbahasa Inggris. Kedua, teologia neo-orthodox memang relatif sedikit berpengaruh di beberapa negara yang berbahasa Inggris, terutama di Inggris sendiri. Atau, kemungkinan ketiga, yakni bahwa dapat dikaitkan dengan fakta bahwa tradisi "khotbah exegetis" kurang berakar di gereja-gereja Inggris. Atau kemungkinan lain lagi yakni bahwa mungkin ada hubungannya dengan unsur-unsur kebebasan yang nampak dalam pola ilmu sosiologi yang laku di kalangan-kalangan yang berbahasa Inggris. Tak usah kita pilih salah satu dari antara sebab-sebab yang demikian. Pokoknya, soal yang diajukan ini patut mendapat jawaban yang tepat, biar bagaimanapun latar-belakang kebudayaan yang menimbulkannya. b. Terbatas pada minoritas Kedua, tak usah kita memberi kesan seolah-olah seluruh teologia di kalangan yang berbahasa Inggris telah tiba-tiba memberontak terhadap sentralitas Alkitab. Kesimpulan yang demikian itu sama sekali tak dapat dibenarkan. Kebanyakan teolog yang berpengaruh tidak ikut meragu-ragukan status Alkitab. Ternyata banyak teolog modern melangsungkan tugasnya dengan tidak mempersoalkan status Alkitab sama sekali. Bahkan salah satu kesulitan, yang kita hadapi dalam menyelidiki keragu-raguan mengenai status Alkitab ini, adalah justru bahwa keragu-raguan itu rupa-rupanya tidak mempunyai afiliasi (sangkut-paut) dengan salah satu teologia tertentu yang telah dirumuskan secara teliti. Keragu-raguan yang kita maksudkan ini dikemukakan hanya oleh beberapa ahli Alkitab, dan uraian yang mereka kemukakan itu belum terumus dengan seksama. Namun keragu-raguan itu tokh merupakan sesuatu yang terasa sekali di tengah keanggotaan gereja-gereja yang berbahasa Inggris. Keragu-raguan itu termasuk suasana jaman, suatu kecenderungan yang tersebar luas; maka suasana yang demikian pastilah mempengaruhi juga bagian-bagian besar dalam gereja yang masih mempertahankan sikap yang lebih tradisional terhadap Alkitab. c. Terutama berpengaruh di antara generasi muda Terutama di antara angkatan mudalah terasa keragu-raguan tentang Alkitab ini, termasuk pendeta-pendeta muda dan para mahasiswa. Timbul pertanyaan-pertanyaan seperti: Mengapa kita memberi begitu banyak waktu terhadap penyelidikan Alkitab? Sungguhkah Alkitab begitu relevan bagi kebutuhan kita masa kini? Apakah tidak lebih berguna, kalau kita langsung menyelidiki struktur masyarakat kontemporer, atau kecenderungan-kecenderungan dalam bidang filsafat modern, atau kalau kita ditawari kursus dalam bidang psikologi? Dari segala pihak, kedengaran laporan-laporan bahwa minat mahasiswa-mahasiswa teologia terhadap bidang Biblika sudah merosot, dan bahwa mereka lebih cenderung memilih bidang psikologi atau sosiologi. Kecenderungan yang demikian tidak terbatas kepada kalangan yang berbahasa Inggris saja, bahkan lebih menyolok lagi di beberapa negara di Eropa. d. Bukan penolakan terhadap Alkitab Pendek-kata, kita menyadari bahwa ada keragu-raguan yang sangat mendalam tentang tempatnya Alkitab dalam hidup dan iman gereja masa kini. Namun adalah merupakan suatu keterlaluan kalau kita katakan bahwa perasaan-perasaan yang demikian sampai merupakan suatu penolakan terhadap Alkitab, suatu penyangkalan terhadap nilai Alkitab itu. Memang kaum konservatif barangkali cenderung untuk mengatakan bahwa sikap radikal itu merupakan penolakan atau penyangkalan, tetapi ditinjau dari pihak peragu-peragu itu sendiri, sikap mereka itu terhadap Alkitab bukanlah sikap yang negatif melulu. Karena yang kita hadapi ini bukanlah suatu rumusan doktrin yang "menyangkali kewibawaan Alkitab," melainkan suatu suasana yang samar dan kabur.