Membumikan Akhlak Mulia Dalam Kehidupan

Muhammad Sholeh Drehem, LC, M.Ag 



Misi Rasulullah SAW diturunkan ke dunia ini adalah untuk penyempurnaan akhlak . Rasulullah SAW bersabda : “Sungguh aku diutus (Allah SWT) hanyalah untuk menyempurnakan akhlak”. HR Bukhori. Hampir semua syariat yang Allah perintahkan kepada umat manusia, apapun bentuk syariat itu ujung-ujungnya sebenarnya kita diajak untuk menata akhlak. Baik akhlak terhadap Allah maupun akhlak manusia dengan sesamanya. Bahkan akhlak kita terhadap lingkungan sekitar. 

Perintah melaksanakan shalat, merupakan syariat Allah yang harus kita laksanakan, yang ujungnya juga menata akhlak. (QS Al Ankabut : 45) Laksanakanlah shalat, karena sesungguhnya shalat itu bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Jadi essensi shalat, jika kita ingin melihat apakah shalat kita benar atau tidak dampaknya akhlak yang kita rasakan di lapangan. Menunaikan zakat juga merupakan syariat Islam yang diperintahkan untuk menunaikan jika sudah sampai nishab akan harta yang dimiliki. Tujuan dari zakat itu adalah supaya tidak terjadi kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin. Yang miskin memperhatikan kewajibannya kepada yang kaya, begitu juga yang kaya juga memperhatikan haknya orang miskin. Saling memperhatikan antar sesama muslim seperti ini adalah terkait dengan akhlak. 

Puasa di bulan Ramadhan. Satu bulan kita digemleng oleh Allah SWT, tidak makan, tidak minum, tidak bermaksiyat kepada Allah SWT. Di saat perut kita kosong, keroncongan, muncul perasaan iba, merasakan penderitaan betapa saudara-saudara kita yang tidak bisa makan dengan sempurna selama satu bulan bahkan bertahun-tahun. Kita diuji oleh Allah SWT untuk merespon perintah yang satu ini. Dalam sebulan setiap tahun kita dididik untuk menahan nafsu makan, nafsu di bawah perut kita, dan menjaga akhlak-akhlak yang lain. Dengan puasa ada kesabaran dan sabar itu masalah akhlak. Dengan puasa ada kejujuran dan itu juga masalah akhlak. Dengan puasa akan muncul perasaan iba antara satu dengan yang lain, itu juga masalah akhlak. 

Begitu juga dalam perintah ibadah haji. Kita dilatih untuk berjuang, meninggalkan keluarga, menunjukkan kepasrahan kita kepada Allah. Berkumpul dengan berjuta-juta muslim di dunia, dengan pakaian yang sama, dengan niat yang sama, dengan tujuan yang sama, dengan talbiyah yang sama. Maka akan muncul ukhwah di antara kita, akan muncul tolong menolong . 

Untuk mewujudkan akhlak yang seharusnya kita miliki, Pertama, kita perhatikan Akhlak kita kepada Allah SWT. Beberapa bulan yang lalu saya diberi kesempatan oleh Allah berkunjung ke Gaza, Palestina. Satu kota yang sangat kecil, mungkin sepertiganya Surabaya, yang secara teroterial Palestina sudah dikuasai oleh Israil, 60% dikendalikannya. Namun tidak mampu pencaplok Gaza. Rahasianya ada dua, pertama, akhlak terhadap Allah sangat kokoh. Hal ini terbukti bahwa respon dalam melaksanakan shalat sangat luar biasa. Ukurannya situasi jamaah shalat Shubuh di masjid. 

Setiap shalat Shubuh masjid hampir penuh. Saya merenung, mungkin karena ini, sehingga mereka dijaga oleh Allah. Rasulullah SAW bersabda : “Kalau seseorang shalat shubuhnya tepat waktu di masjid, maka dia dalam pengawasan, pemeliharaan dan penjagaan Allah”. Kedua, mereka berinteraksi dengan Al Qur’an. Bahkan perdana menterinya, memberikan anggaran tidak terbatas, setiap ada program-program tahfidh, program pengembangan kajian Al Qur’an. Dia tidak ingin seorangpun di Gaza yang tidak bisa membaca Al Qur’an. Tentaranya rata-rata hafal Al Qur’an 5-10 juz, pasukan khusus ( Al Qassam) mereka hafal 20-30 juz. Maka, semakin kita dekat dengan Al Qur’an maka kita akan dijaga oleh Allah. (Q.S Al Isra’ :45) 

Kedua, Akhlak dengan sesama manusia. Perlu diketahui, bahwa orang-orang Madinah masuk Islam bukan masalah iman yang pertama kali dirasakan oleh mereka. Tetapi, mereka terkesima melihat akhlak Rasulullah SAW. Pada suatu hari seorang Badui datang meminta kepada Rasulullah SAW. “Hai Muhammad berikan kepadaku apa yang oleh Allah diberikan kepadamu”. Saat itu kaum muslimin baru menang dalam perang Hunain, sehingga Nabi mempunyai harta rampasan perang kambing. Beliau menjawab : “Kambing yang ada di bukit antara dua gunung itu ambil semua!”. Orang Badui ini bingung : “Ya Muhammad, aku cuma minta satu atau dua ekor kambing saja”. Rasulullah menjawab : “Itu semua milikmu”. Kemudian orang Badui itu berteriak kepada kaumnya :“Wahai kaum, marilah masuk Islam bersama-sama, Muhammad telah memberikan sebuah pemberian yang dia tidak takut akan kefakiran. 

Perlu kita renungkan hadis dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW : “Sungguh yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik akhlaknnya). Dan tidak ada sesuatu yang nanti paling memberatkan timbangan seseorang pada hari kiamat dari akhlak yang baik. Sungguh seorang dengan akhlaknya yang baik, nanti dia akan berada pada posisi yang terhormat, di dunia, bahkan di surga, walaupun dia bukan orang yang ahli ibadah. Seorang yang akhlaknya yang rusak, dia berada pada neraka jahannam, yang paling bawah, walaupun dia ahli ibadah. 

Kisah Teladan Sahabat Nabi Muhammad Saw

DR H Abd Kadir Riyadi, MA 

Rasulullah SAW bersabda : Ro’sul ‘aqli ba’dad diin, at tawaddud ilan naas, wastina’ul ma’ruf, ila kulli birrin wa faajirin (modal hidup orang yang berakal selain agama ada dua, kasih sayang kepada sesama manusia, dan berbuat baik kepada setiap orang, baik kepada orang yang baik maupun kepada orang yang tidak baik). Inilah dua hal yang ingin saya sampaikan dalam kesempatan ini.

1, Kasih sayang kepada sesama manusia. Ibnu Umar mengisahkan, yang ditulis kembali oleh Imam Al Ghozali. Suatu hari ada seorang sahabat Rasul yang tergolong miskin, yang serba pas-pasan. Dia baru mendapatkan hadiah dari tetangganya berupa kepala kambing. Hari itu dia dalam keadaan lapar. Sangat manusia sekali misalnya dia berfikir, kepala kambing ini akan saya masak apa, tetapi bukan itu yang terpikir dalam benaknnya. Dia justeru berfikir, siapa tetanggaku, saudaraku, sahabatku yang hari ini lapar dan lebih membutuhkan kepala kambing ini daripada aku. Akan aku berikan kepala kambing ini kepadanya. Maka dia menemukan orang yang dimaksud dan memberikannya kepala kambing ini kepadanya. Sahabat yang kedua yang juga miskin ini, ketika menerima kepala kambing dari sahabat yang pertama ini juga berfikir hal yang sama. Siapa tetanggaku, saudaraku, sahabatku yang hari ini lapar dan lebih membutuhkan kepala kambing ini daripada aku, akan aku berikan ini kepadanya. Dermikianlah, kepala kambing ini diberikan kepada sahabat yang lain yang dipandang lebih membutuhkan. Sahabat yang ketigapun berfikir hal yang sama, sehingga diberikan kepada sahabat yang keempat, sahabat keempat begitu juga, diberikannya kepada sahabat kelima, hingga sahabat yang ketujuh. Sampai sahabat yang ketujuh ini baru memakannya, tetapi tidak dimakan sendirian, namun dimakan bersama-sama dengan sahabat lain yang sama-sama lapar pada hari itu.

Ada kisah lain yang juga disampaikan oleh Ibnu Umar. Yang juga ditulis kembali oleh Imam Al Ghozali. Di mana ada seorang sahabat yang miskin, hutangnya banyak. Satu-satunya harta yang dimiliki adalah anak kambing. Harta satu-satunya yang merupakan pemberian dari tetangganya ini hilang, dicuri orang. Pada hari yang sama, dia mendengar seorang sahabat yang bernama Khoitsamah, sahabat ini juga bernasib sama dengan dia, miskin dan hutangnya banyak. Tanpa berfikir panjang, sahabat yang pertama tadi bekerja keras setiap hari, siang dan malam memeras keringat tak kenal lelah. Tujuannya bukan untuk melunasi hutangnya sendiri, tetapi untuk melunasi hutang Khoitsamah tanpa sepengetahuannya.

Dua kisah di atas adalah sebagai perwujudan makna surah Al Fath : 29. Yang maknanya : Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.

Inilah makna kasih sayang, yakni mementingkan kebutuhan orang lain daripada kebutuhan diri sendiri. Walaupun itu halal sekalipun.

2. Berbuat baik kepada orang yang berbuat baik, maupun kepada orang yang tidak baik. Makna Ruhamaa’ bainahum (berkasih sayang sesama mereka) surah Al Fath : 29 menurut Ibnu Abbas berarti al yad’u shoolihuhum liththoolihihim wa an yad’u thoolihuhum lishshoolihihim. (dengan sesama orang muslim saling mendoakan, yang sholih mendoakan yangtidak sholih, yang tidak sholih mendoakan yang sholih). Ketika yang tholih bertemu dengan yang sholih hendaknya dia berdoa : Allahumma baarik lahu fiima qasamta lahu minal khoir wa tsabithu ‘alaihi wan fa’anaa bihi. (Ya Allah, berkahilah kebaikan yang Engkau berikan dan tetapkan ia dalam kebaikan itu, danberikanlah manfaat kepada kami atas kebaikan yang telah ia lakukan). Yang sholih jika ketemu dengan yang tholih, hendaknya dia mendoakan : Allahummahdihi wa tub ‘alaihi waghfir lahu ( Ya Allah berilah dia hidayah, dan berilah dia jalan untuk bertaubat, dan ampunilah dosa-dosanya).

Inilah gambaran sebuah masyarakat yang ingin dibangun oleh Rasulullah SAW dan sungguh telah diamalkan oleh para sahabat pada eranya. Yakni : pertama, masyarakat yang berlandaskan pada agama. Kedua, masyarakat yang cinta kasih kepada sesama. Mementingkan kepentingan orang lain, mengesampingkan kepentingan diri sendiri. Ketiga, berbuat baik kepada semua orang. Baik yang jahat, maupun yang baik.

Inilah yang patut kita contoh, dan kemudian kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Marilah kita bedakan manusia dengan perbuatannya. Seperti yang disebutkan dalam Al Qur’an surah AsySyu’araa’ : 216, di mana Al Qur’an membedakan antara pelaku dan prilaku. Makna surah tersebut adalah : jika mereka mendurhakaimu Maka Katakanlah: "Sungguh aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan";

Al Qur’an mengatakan “perbuatanmu”, tidak mengatakan tidak ada urusan dengan “kamu”. Ini bisa kita fahami bahwa Al Qur’an membedakan antara manusia sebagai manusia dan manusia dengan perbuatannya. Orang yang perbuatannya buruk, maka dalam pergaulan, cinta kasih, hendaknya tidak mempermasalahkan perbuatannya. Apakah dengan perbuatan buruknya akan berdampak dia masuk neraka, atau tidak, itu urusan dia, tetapi mari kita melihat dia sebagai manusia, tetapi tidak melihat apa yang telah dia lakukan.

Inilah methode Rasulullah SAW dalam bergaul dengan sesama manusia. Beliau selalu merangkul semua orang dengan bermacam latar belakangnya. Baik yang baik, maupun yang tidak baik. Karena beliau membedakan manusia sebagai manusia, yang berhak untuk dihormati, berhak untuk dihargai, berhak untuk dijunjung dan membedakan manusia dengan perbuatannya. Dia mencuri urusan dia dengan polisi, dan itu urusan dia, tetapi bahwa dia manusia kita harus hargai. Kita harus menghormati manusia sebagai manusia, terlepas dari latar belakangnya, agamanya, perbuatannya, warna kulitnya. Mereka berhak dihormati, berhak dilindungi harta dan keyakinannya.


Banyak ayat dan hadits tentang kasih sayang terhadap sesama, di antaranya sebagai berikut :

1. “Amal perbuatan yang paling disukai Allah sesudah yang fardhu (wajib) ialah memasukkan kesenangan ke dalam hati seorang muslim.” (HR. Ath-Thabrani). Seorang muslim hendaknya menyenangkan hati sesama saudaranya. Menyenangkan hati mempunyai makna yang luas, dan termasuk di dalam bentuk kasih sayang.

2. “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Apabila melihat aib padanya dia segera memperbaikinya.” (HR. Bukhari). Jika kita menyayangi seseorang, maka kita akan berusaha untuk menghalangi (atau memperbaiki) aibnya.

3. “Tiga perbuatan yang termasuk sangat baik, yaitu berzikir kepada ALLOH dalam segala situasi dan kondisi, saling menyadarkan (menasihati) satu sama lain, dan menyantuni saudara-saudaranya (yang memerlukan).” (HR. Ad-Dailami) Poin terakhir, yakni menyantuni (memberi pertolongan) saudara2 yg memerlukan, jelas sekali bukti bahwa Islam itu mengajarkan kasih sayang.

4. “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak menzaliminya dan tidak mengecewakannya (membiarkannya menderita) dan tidak merusaknya (kehormatan dan nama baiknya).” (HR. Muslim) Salah satu bentuk kasih sayang adalah tidak ingin mengecewakan orang yg kita cintai dan sayangi.

5. “Tiada beriman seorang dari kamu sehingga dia mencintai segala sesuatu bagi saudaranya sebagaimana yang dia cintai bagi dirinya.” (HR. Bukhari) Ini adalah hadits yg sudah sedemikian terkenal, dan sangat jelas, bahwa Islam mengajarkan kasih sayang!

6. “Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam saling cinta kasih dan belas kasih seperti satu tubuh. Apabila kepala mengeluh (pusing) maka seluruh tubuh tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Muslim) Ini juga salah satu hadits yg seringkali dijadikan sandaran bahwa Islam mengajarkan kasih sayang.

7. “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.” (Al Isra :24) Ayat Al Qur’an ini menjelaskan tentang kasih sayang kita kepada orang tua kita.

8. “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An Nuur :22)

Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang diberi kelebihan (terutama di bidang materi) hendaknya membantu saudara2nya yang kekurangan.

Dari hadits-hadits dan ayat-ayat di atas, kita bisa melihat bahwa bentuk kasih sayang yang diajarkan Islam kepada para pemeluknya bersifat universal. Berlaku untuk semua manusia, semua golongan. Namun, tentu saja kaum muslim, sebagai saudara seiman mempunyai prioritas yang lebih tinggi, terutama jika saudara seiman tersebut posisinya dekat dengan kita. Tetangga satu RT, tetangga satu RW, bahkan dalam satu negara pun, saudara seiman mempunyai hak untuk diprioritaskan. Bahkan jika kita mau telaah lebih lanjut, kasih sayang yang ‘mesti’ dilakukan oleh seorang muslim tidaklah melulu kepada sesama manusia, namun juga kepada makhluk-makhluk lain sebagai ciptaan Allah SWT. Seperti jika hendak menyembelih hewan, kita diperintahkan untuk menggunakan pisau yang sangat tajam, tujuannya tidak lain agar hewan tersebut tidak tersiksa terlalu lama, menderita kesengsaraan karena rasa sakit disembelih oleh senjata yg tumpul. Demikian wallahu’alam 


Islam, dan Ajaran Jihad

KH Ali Maschan Moesa

Jihad secara bahasa adalah mashdar (bentuk kata benda) dari jahada-yujaahidu-jihaadan. Menurut fiqih madzhab Imam Syafi’i secara bahasa : Badzala juhudan fii sabiilil ushuul ilaa ghooyatin ma (mencurahkan kesungguhan, untuk mencapai tujuan apapun). Jihad secara istilah adalah : Badzlul juhudi fii sabili iqaamatil mujtamatil islaami wa antakuuna kalimatullahi hiyal ‘ulyaa (mencurahkan kesungguhan dalam rangka menegakkan mayarakat Islam dan untuk menjadikan agama Allah di tempat yang paling tinggi). 

Mengutip pendapat Imam Syafi’i, bahwa jihad itu ada empat macam : Pertama, aljihaadu bit ta’liim, berjihad dengan cara mengajarkan agama Allah. Kedua, aljihaadu bibadzlil maal berjihad dengan cara mengeluarkan harta untuk menegakkan agama Allah. Ketiga, jihaadu nafsi, berjihad dengan melawan hawa nafsu. Keempat, al jihaadul bilqitaal, berjihad dengan perang. (QS.Al Baqarah : 218, Al Anfaal : 72) Dan masih banyak lagi ayat yang menjelaskan tentang jihad yang redaksinya hampir sama, bahwa jihad dengan harta dan diri kita. Rasulullah SAW menjelaskan As sa’i ‘alah armalati kal jihad fii sabiilillah (orang yang membantu janda-janda miskin itu adalah jihad di jalan Allah). Sementara ini banyak orang yang mempersepsikan dan memahami bahwa jihad itu hanyalah berperang fisik. Padahal, perang fisik itu adalah salah satu bentuk dari jihad. Jadi, membantu fakir miskin, membantu anak-anak yatim, mengajarkan agama Allah, itu semua pada dasarnya adalah jihad di jalan Allah. 

Rasulullah SAW setelah diangkat menjadi Nabi dan Rasul, berjuang di Makkah selama 13 tahun. Musuh semakin banyak dan semakin membabi buta untuk menyerang Rasulullah SAW dan pengikutnya pada saat itu. Kemudian Allah memerintahkan hijrah dari Makkah ke Madinah. 

Ketika di Madinah, Rasulullah SAW mengadakan perjanjian-perjanjian. Dan pertama kali yang dilakukan adalah seluruh komponen, kelompok yang ada di Madinah, baik muslim maupun non muslim dikumpulkan. Karena di Madinah terdiri dari banyak suku agama dan keyakinan. Kemudian mengadakan perjanjian yang dikenal dengan miitsaalul madiinah (perjanjian Madinah). Sebagaimana disebutkan dalam muqaddimah Ibnu Khaldun, bahwa muqaddimah perjanjian Madinah adalah “Ini perjanjian antara Muhammad SAW sebagai wakil umat Islam, baik umat Islam Quraisy Makkah, maupun umat Islam Yasrib Madinah bersama dengan orang yang mengikuti perjanjian ini dan orang yang menanda tangani perjanjian ini, bahwa semua adalah umat yang satu”. Dengan demikian, berbangsa itu tidak harus seagama. Rasulullah SAW memberi contoh membangun sebuah negara, berdasarkan pluralitas. Setelah mengadakan perjanjian-perjanjian damai dengan kelompok-kelompok yang ada di Madinah, kemudian Nabi mengadakan perjanjian-perjanjian dengan kelompok-kelompok di luar Madinah. Setelah itu, di antara kelompok-kelompok itu mulai ada yang ingkar janji, ada yang menentang bahkan ada yang mempersiapkan perlawanan. Di sinilah kemudian Rasulullah SAW mempersiapkan pasukannya berperang untuk melawan pemberontak-pemberontak itu. 

Sebenarnya berperang itu merupakan sekian dari strategi dakwah. Dan dalam peperanganpun tidak yang penting membunuh musuh, tetapi jika mereka menerima Islam dengan suka rela, tidak akan dibunuh walaupun dalam kondisi bisa dibunuh. Rasulullah SAW pernah dalam suatu peperangan yang dimenangkan oleh umat Islam, beliau duduk di bawah pohon. Tanpa dikira ternyata masih ada seorang musuh yang masih hidup. Serta merta mengambil pedangnya Rasulullah yang digantung di atas pohon, lalu menodongkan pedang tersebut di leher Rasulullah SAW. Sambil menodongkan pedang dia berkata : Muhammad ! siapa yang membela kamu? Dengan tenang Nabi menjawab : “Allah”. Lafadz Allah jika diucapkan ikhlas dari dalam hari dan yang mengucapkan seorang Nabi gunung pun bisa meletus. Apalagi pedang, tentu langsung jatuh. Setelah jatuh, lalu diambil oleh Nabi dan ditodongkan kepada orang tersebut dan bertanya : “Siapa yang akan menjadi pembelamu?”. Sambil bergetar ketakutan dia mengatakan : “Muhammad jadilah engkau orang yang paling baik membalas. Maksudnya saya jangan dibunuh ya Muhammad. Rasulullah menjawab : “Kamu tidak saya bunuh, tetapi bersyahadatlah”. Namun orang tersebut keberatan, tetapi Rasulullah tetap melepasnya dan membiarkan pergi. Karena beliau sadar bahwa berperang itu tidak membunuh, tetapi tugas menyampaikan risalah suci, menyebarkan Islam, menyelamatkan orang. 

Dalam kontek ini ada dua analisis pendekatan. Pendekatan fiqih, dimana secara fiqih Nabi boleh dan berhak untuk membunuh. Dan pendekatan akhlak dan strategi dakwah. Dan Nabi memilih yang kedua ini. Menurut riwayat lain, orang tadi adalah seorang kepala suku dan merupakan orang yang paling disegani oleh pengikutnya, yang sebelumnya selalu mengolok-olok Nabi mengobarkan perang dengan Nabi, bahkan mengatakan Muhammad harus dibunuh. Setelah kejadian itu, dia kembali kepada pengikutnya dan mengatakan bahwa Muhammad adalah orang yang paling baik yang saya temui. Nah, dengan persepsi yang dimiliki inilah, maka untuk bersyahadat tinggal menunggu waktu. Dan menurut riwayat kepala suku itu bersyahadat dengan diikuti oleh pengikut-pengikutnya. Jika Nabi memutuskan memperlakukan dia berdasarkan fiqih, dan orang tadi dibunuh, dan tentu dakwah akan berhenti di situ. 


Islam, Ya'luu Walaa Yu'laa 'Alaih

DR dr Fuad Amsyari, MSc

Allah berfirman dalam surah Al Fath : 28, yang maknanya : Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. dan cukuplah Allah sebagai saksi. 

Intisari dari ayat tersebut oleh Sayyid Qutb dipopulerkan dengan ungkapan Alislaamu ya'luu walaa yu'laa 'alaihi (Islam yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya). dengan ungkapan ini, mampu menggetarkan dan membakar semangat umat Islam di Mesir dalam menghadapi musuh-musuh Islam. Dan ini sebenarnya merupakan awal dari berdirinya Ikhwanul muslimin. Dengan semangat ini, umat Islam Mesir bisa mengatasi penjajahan Inggris pada saat itu. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, semangat itu bisa luntur dengan gemerlapnya dunia, sehingga, ada yang mengikuti ajaran-ajaran dan ideologi kafir. Dan ideologi itu dianggap lebih tinggi dari Islam. Maka terjadilah pertarungan di Mesir antara mereka yang menganut Ideologi Islam, dan menganggap Islam lebih tinggi dari ideologi apapun, dengan ideologi skulerisme. Dan banyak orang Islam yang terpengaruh karena penjajah Inggris yang sekian tahun di Mesir. Maka, persaingan terjadi. Dan umat Islam yang dimotori Ikhwanul Muslimin kalah. Dan kekuasaan dipegang oleh Jamal Abdul Naser, yang amat diktator, dan menekan serta menindas Ikhwanul Muslimin. Kekuasaan dipegang dengan tangan besi. Para pemimpin Islam dipenjara, bahkan dibunuh. Mirip kejadian yang menimpa negara Turki, yakni Kemal Attaturk. Namun, umat Islam di Mesir tidak putus asa. Mereka semakin memperkokoh persatuan. Hingga sekitar 60 tahun, Jamal Abdul Naser meninggal lalu diganti, namun, sampai beberapa kali pergantian masih meneruskan ideologi skuler tersebut. Alhamdulillah, beberapa tahun lalu kita dengar Arab Spring. Ikhwanul Muslimin membentuk partai kebebasan dan keadilan. Dan dengan dibantu oleh partai-partai Islam yang lain, mereka memenangkan pemilu. Parlemen diisi oleh orang-orang yang mengerti Islam. Dan pada tahun 2009-2010 kemaren berhasil menggulingkan rezim Hosni Mubarak yang telah berkuasa sekitar 30 tahunan juga. Keberhasilan ii membawa negara Mesir merubah segala tatanan hidup negaranya dan konstitusinya. Hasilnya pada pemilihan umum kemaren merupakan hal yang bersejarah di mana fihak Islam yang diwakili oleh Ikhwanul Muslimin menang, dan membawa nama Muhammad Muhammad Mursi Isa Al Ayyat sebagai presiden. Dan sekarang wajah Mesir berubah. Inilah sekelumit sejarah tentang ungkapan Alislaamu ya'luu walaa yu'laa 'alaihi. 

Kejadian seperti di Mesir ini juga terjadi di banyak negara. Karena sekarang Umat Islam sudah sadar, bahwa sekularisme tidak bisa mensejahterakan rakyat secara merata. Sekularisme hanya mensejahterakan beberapa orang saja, terjadi ketimpangan yang amat jauh antara orang miskin dan orang kaya. Allah berfirman dalam surah Ali Imron : 13. yang maknanya : Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati. 

Umat Islam yang semula lemah, bisa menang, karena bantuan Allah SWT. Ayat tersebut adalah terkait dengan perang Badar. Umat Islam yang dulunya lemah, menjadi menang karena Allah SWT. Setelah Rasulullah SAW memimpin Madinah, dan diteruskan Abu Bakar As Siddiq, Umar bin Khathob dan seterusnya,rakyat Madinah semakin makmur dan makmur. Karena kekuasaan di tangan orang yang benar, orang yang mengerti tentang syariat Allah, orang yang ahli dalam bidangnya. Pada saat itu, ketika Umar bin Khathob menjadi khalifah, Madinah semakin kaya dan makmur. Ada orang yang mengatakan kepada Umar : "Ya, amirul mukminiin, kita menjadi makmur dan kaya raya seperti ini karena rahmat Allah SWT". Umar marah, dan mengatakan : "Ingat, orang yang mendapatkan rahmat dari Allah itu, adalah orang yang keimanan dan ketaqwaannya semakin meningkat. Bukan semakin banyak hartanya. Karena bertambahnya harta itu bisa terjadi karena memang dia mencari dari detik ke detik, dari jam ke jam, waktu ke waktu". Bahkan Umar menangis, khawatir karena semakin bertambahnya kaya dan makmur, rakyatnya semakin menjauh dari Allah SWT. Sehingga, rahmat Allah itu jika keimanan dan ketaqwaan kita bertambah, hati kita semakin merasakan Allah dalam setiap aktivitas. Indikasi orang yang semakin beriman dan bertaqwa ada 3 hal : Pertama, orang tersebut semakin semangat dalam mencari kebenaran-kebenaran sesuai dengan Al Qur'an dan As Sunnah. Semakin bersemangat dalam menerapkan syariat Allah dalam kehidupan sehari-hari. Semangat memperdalam ilmu agama untuk diterapkan dalam hidupnya semakin hari semakin bertambah. Kedua, semakin luas dan banyak lingkup ajaran Islam yang dia praktekkannya. Islam mengharuskan untuk menjaga dua hal, hablum minallah (keterikatan dengan Allah) malakukan shalat, puasa, haji dan lain sebagainya. Dan hablum minan naas (keterikatan dengan sesama manusia). Hubungan kita dengan sesama tidak hanya bagaimana cara bergaul dengan sesama. Tetapi, bagaimana ukuran pergaulan itu diatur sesuai syariat Allah. Ini yang akan menjadikan Islam ya'luu walaa yu'laa 'alaihi (Islam yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya). Ketiga, orang tersebut mau berjuang menyebar luaskan Islam. Berkorban untuk mempromosikan kebenaran Islam. 

Seminggu yang lalu saya tersentak membaca koran Republika. Artikel yang judulnya "Ternyata agama dan bahasa tidak menjamin keberhasilan". Dalam artikel tersebut dia mencontohkan dunia Arab masa sekarang, kurang apa mereka, bahasanya satu, yakni Arab, agamanya satu, Islam, Tetapi kenyataannya sekarang bertikai habis-habisan. Sayang, dia tidak menganalisa di mana letak salahnya. Padahal kalau kita teliti, penyebabnya adalah karena Islamnya tidak ideologis, Islamnya sekedar di permukaan. Karena Islam itu harus ideologis, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an surah Al Hujurat : 14 yang maknanya : Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" Jadi berislam itu berdasarkan motivasi dari hati nurani. Karena bisa jadi dia melakukan shalat dan syariat lainnya karena kultur, lingkungannya, orang tuanya, teman sekantor malakukan, sehingga dia juga ikut melakukan. Begitu diukur iman yang benar, maka semangatnya belajar Islam meningkat. Dalam situasi dan kondisi apapun dia selalu mencari, bagaimana al-Qur'an mengajarkan berdagang, bagaimana bekerja yang sesuai ajaran Islam, bagaimana memilih pemimpin yang sesuai syariat Islam dlsb. 

Rasulullah SAW bersabda : Innamas sulthoonu dhilullah wa rumhuhu fil ardh (Sungguh pemimpin itulah sesungguhnya payung Allah, di muka bumi ini). Merekalah ujung tombak untuk menebar kebenaran dan kesejahteraan. Untuk itu, jangan salah dalam memilih pemimpin. Dengan pemimpin yang benar, barulah bisa mewujudkan alislaamu ya'luu walaa yu'laa 'alaihi (Islam yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya). Sebenarnya tidaklah sulit untuk memilih pemimpin yang berpenduduk sekian banyaknya ini. Yang menjadi pedoman adalah seberapa dia mengenal Islam, memahami dan mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Seberapa besar kontribusinya terhadap dakwah Islam. Ini yang perlu kita pertimbangkan. 

Memahami Rahmat Islam 

“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS 21: 107). Ayat di atas sering dijadikan hujjah bahwa Islam adalah agama rahmat. Itu benar. Rahmat Islam itu luas, seluas dan seluwes ajaran Islam itu sendiri. Itu pun juga pemahaman yang benar. Sebagian orang secara sengaja (karena ada maksud buruk) ataupun tidak sengaja (karena pemahaman Islamnya yang tidak dalam), sering memaknai ayat tersebut diatas secara menyimpang. Mereka ini mengartikan rahmat Islam harus tercermin dalam suasana sosial yang sejuk, damai dan toleransi dimana saja Islam berada, apalagi sebagai mayoritas. Sementara dibaliknya sebenarnya ada tujuan lain atau kebodohan lain yang justru bertentangan dengan Islam itu sendiri, misalnya memboleh-bolehkan ucapan natal dari seorang Muslim terhadap umat Nasrani atau bersifat permisive terhadap ajaran sesat yang tetap mengaku Islam. 

Islam sebagai rahmat bagi alam semesta adalah tujuan bukan proses. Artinya untuk menjadi rahmat bagi alam semesta bisa jadi umat Islam harus melalui beberapa ujian, kesulitan atau peperangan seperti di zaman Rasulullah. Walau tidak selalu harus melalui langkah sulit apalagi perang, namun sejarah manapun selalu mengatakan kedamaian dan kesejukan selalu didapatkan dengan perjuangan. Misalnya, untuk menjadikan sebuah kota menjadi aman diperlukan kerjakeras polisi dan aparat hukum untuk memberi pelajaran bagi pelanggar hukum. Jadi logikanya, agar tercipta kesejukan, kedamaian dan toleransi yang baik maka hukum Islam harus diupayakan dapat dijalankan secara kaffah. Sebaliknya, jangan dikatakan bahwa umat Islam harus bersifat sejuk, damai dan toleransi kepada pelanggar hukum dengan alasan Islam adalah agama rahmat. 

Mencari Rahmat Islam 

Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya. Dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu,” (QS al-Baqarah: 208). Ada banyak dimensi dari universalitas ajaran Islam. Di antaranya adalah, dimensi rahmat. Rahmat Allah yang bernama Islam meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia. Allah telah mengutus Rasul-Nya sebagai rahmat bagi seluruh manusia agar mereka mengambil petunjuk Allah. Dan tidak akan mendapatkan petunjuk-Nya, kecuali mereka yang bersungguh-sungguh mencari keridhaan-Nya. “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik,” (QS al-‘Ankabuut: 69). 

Prinsip-Prinsip Universal Toleransi Antar Umat Beragama

Drs. H Kasno Sudaryanto, M.Ag

 
Sebagai agama yang universal, Islam mengajarkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dengan tanpa memandang latar-belakang. Karena itu Allah SWT telah berfirman dalam surah Al Hujurat : 13 yang maknanaya : Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. 

Rasulullah SAW telah memberikan contoh kepada kita. Ada empat contoh yang bisa kita jadikan pijakan untuk menjadikan kita pribadi yang toleran. Pertama, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW ketika beliau menjadi pemimpin di Madinah. Di mana beliau menghormati orang Yahudi dengan keyakinannya. Beliau juga memberi kesempatan untuk mendirikan sekolah, yang dikenal dengan Baitul Midros, tempat mereka mempelajari kitab Thurah dan untuk beribadah. Sikap ini menunjukkan, betapa Rasulullah tidak memaksakan ajaran agama Islam kepada umat lain pada saat itu. Padahal, seandainya mau, semua bisa dipaksa, karena Rasulullah pada saat itu, menjadi penguasa di Madinah. 

Kedua, ketika Rasulullah SAW menerima utusan Gereja Kristen dari bukit Sinai Mesir. Dalam pesannya yang ditulis yang disebut Piagam Anugerah. Piagam itu diabadikan sampai saat ini di Gereja Katerin Bonastre, bukit Sinai, Mesir. Surat perdamaian dan surat perlindungan itu, diberikan kepada mereka pada tahun 628 Masehi. Ketika delegasi Kristen itu mengunjungi Nabi di Madinah. Surat tersebut intinya adalah : “Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, sebagai perjanjian siapapun yang menganut Kristiani. Kami mendukung mereka. Kami melindungi mereka. Siapapun, baik saya, pelayan saya, penolong dan pengikut saya, membela mereka orang-orang Kristen, yang merupakan bagian dari penduduk yang saya tempati ini”. Dalam catatan itu juga disebutkn, bahwa tiak ada paksaan terhadap mereka sedikitpun, untuk melakukan ibadah sesuai orang Islam. Dan dalam catatan itu juga dikatakan, tidak boleh ada yang menghancurkan rumah-rumah ibadah mereka, atau berbuat apapun yang menyebabkan mereka menderita. Umat Islam tidak boleh ada yang melanggar perjanjian itu, sampai pada hari Akhir nanti. 

Ketiga, ketika Rasulullah SAW kedatangan 60 rombongan orang Kristen dari Yaman. Mereka diberi kesempatan untuk belajar dan berdialog, dan pada saat waktunya dia melakukan ibadah, dia berdiri menghadap Timur dalam masjid itu sambil berdoa sesuai keyakinan dan agamanya. Dan Rasulullah mengatakan : “ Mereka dilindungi dan mereka bebas akan menjalankan hidup di negaranya dan tidak akan diganggu”. 
vKeempat, Rasulullah SAW pernah mengutus seorang non muslim yang bernama Amr bin Umayah. Untuk menjadi dutanya orang Islam di Etiophia. 

Contoh-contoh itulah yang merupakan teladan Rasulullah dalam rangka menghormati umat yang lain dan melakukan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan dalam tolong menolong pun beliau tidak membatasi hanya dengan orang Islam. Hal ini tercermin dari hadis-hadis yang tidak membatasi itu. Misalnya, Rasulullah SAW bersabda : Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hormatilah tetangganya. Tetangga di maksud bukan hanya tetangga muslim saja. Ketika salah seorang sahabat akan memberi shodaqah kepada seseorang non muslim yang membutuhkan (faqir) Rasulullah hampir saja melarangnya, tetapi apa yang hendak dilakukan oleh Rasulullah itu diingatkan oleh Allah SWT sebagaimana dijelaskan dalam surah Al Baraqarah : 272. 

Prinsip-prinsip dasar toleran itu, hendaknya menjadi pelajaran bagi kita, bagi bangsa Indonesia yang diberikan oleh Allah, dalam hidup di dunia ini yang beraneka ragam budaya dan agama. Maka sikap pluralistic harus dijunjung tinggi, dalam kaitan hubungan dengan sosial, atau hal-hal yang terkait dengan humanisme. Karena itu, sikap toleran dalam Islam tidak boleh menjadikan kita juga terhanyut dengan faham-faham yang membebaskan kehidupan dalam keyakinan. Artinya, bahwa dalam kaitannya dengan aqidah, maka prinsip-prinsip Islam tetap menjunjung tinggi nilai-nilai ketauhidan, tanpa menjadikan orang lain tersinggung. Karena itu, ketika orang-orang kafir mengajak Rasulullah bertoleran dalam menjalankan agama, maka Allah dengan tegas memberikan petunjuk. (QS Al Kaafirun : 1-6) yang maknanya : 1. Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,2. aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.3. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.4. dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, 5. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.6. untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." 

Jadi, dalam beribadah tidak boleh mencampur antara ibadah muslim dengan non muslim. Non muslim tidak boleh melakukan ibadah seperti muslim. Sebaliknya yang muslim juga tidak diperbolehkan mengikuti ibadah seperti non muslim. Namun, jika itu masalah keduniaan, Islam mengajarkan untuk saling berkasih sayang, saling membantu dan saling menghormati sebagai sesama makhluk hidup, sebagai sesama makhluk ciptaan Allah SWT. Inilah prinsip toleransi yang harus ditegakkan, dengan demikian insyaallah umat Islam akan mendapat keberkahan. (QS Al Ambiya: 107) yang maknanya : Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.


Pentingnya Menuntut Ilmu dan Kewajiban Mengamalkannya

KH Ahmad Thoha, MA


Menuntut Ilmu Sejarah pernah mencatat, bahwa imperium Utsmaniyah pernah memiliki peranan yang menentukan dalam percaturan dunia. Bahkan dakwah Islamiyah pernah sampai ke Wina. Sehingga masyarakat barat menjadi tidak tenang. Itu semua bisa terjadi karena umat Islam di waktu itu membekali diri dengan ilmu pengetahuan, di samping memperkokoh keimanan. Bahkan sejarah pernah pula mencatat, bahwa kemajuan peradaban Islam di Eropa, khususnya di Spanyol, tidak terlepas dari ajaran Islam, yang menjunjung tinggi dan mengagungkan ilmu pengetahuan. Kemajuan barat, tidak bisa dipisahkan dari kontribusi Islam. Sebagaimana diungkapkan oleh para ilmuwan mereka dengan tegas mengatakan, bahwa bangsa eropa sangat beruntung dan berhutang budi dengan kedatangan Islam. Banyak ilmu pengetahuan yang ditemukan dan kemudian diadopsinya. Kesan juga diungkapkan oleh ilmuwan barat lainnya, bahwa ilmu pengetahuan yang dibawa Islam, menjadi inspirasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern barat. Saat itulah izzul Islam wal muslimin (kemulyaan Islam dan kaum muslimin) dirasakan oleh dunia. Ini merupakan rahmat besar. Hidup dengan ilmu pengetahuan, disegani dan dihormati oleh bangsa lain. Ini sebagai bukti bahwa Islam adalah agama yang merupakan aturan hidup yang sempurna yang datang dari Allah SWT. 

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘aalamiin. Telah mensyariatkan dan mewajibkannya kepada umatnya untuk menuntut ilmu dan mengamalkannya melalui wahyuNya yang pertama kali turun yakni iqra’ (bacalah). Artinya ini perintah untuk belajar dan menuntut ilmu. (QS At Taubah : 122, Az Zumar : 9 ). 

Kata “ilmu” di dalam Al Qur’an dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak 854 kali. Artinya agama Islam memberi perhatian besar kepada manusia untuk membekali diri dengan ilmu, dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah untuk beribadah kepadaNya dan sebagai khalifatullah di muka bumi ini. Oleh karena itu, Rasulullah SAW mewajibkan kepada semua umatnya untuk menuntut ilmu. Sebagaimana sabdanya : thalabul ilmi fariidhotun ‘alaa kulli muslimiin wa muslimatun (mencari ilmu itu wajib bagi muslim laki-laki maupun perempuan). Beliau juga mempunyai kebijakan untuk mendorong umatnya terus belajar dan belajar. Misalnya ketika kaum muslim berhasil menawan sejumlah pasukan kaum musyrikin dalam perang Badar. Dengan cara menawarkan mereka, jika mau bebas mereka harus membayar tebusan, atau mengajar baca tulis kepada warga Madinah. Kebijakan ini sungguh cukup strategis, karena mempercepat terjadinya transformasi ilmu pengetahuan di kalangan kaum muslimin. 

Kita sebagai orang tua, harus menjadi teladan di tengah keluarga kita masing-masing. Sebagai orang tua juga mendorong penuh agar keluarga kita untuk menuntut ilmu, jangan sampai kita telantarkan mereka. Jangan membiarkan mereka menjadi generasi yang lemah. (An Nisa’ : 9, Maryam : 59). 

Di akhirat nanti jangan sampai anak isteri kita menggugat di pengadilan Ilahi, hanya karena kita tidak pernah menjadi teladan yang baik, di rumah tangga. Hanya karena kita tidak pernah memberi dorongan kepada keluarga untuk hadir di majlis ilmu untuk menuntut ilmu. Allah SWT berfirman dalam surah At Tahrim : 6 yang maknanya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. 

Menuntut ilmu itu adalah bagian dari ibadah. Menuntut ilmu itu adalah suatu kemulyaan. Allah SWT akan mengangkat derajat dan kedudukan orang yang menuntut ilmu. Dan Allah akan mudahkan jalan menuju surga orang yang menuntut ilmu. Allah berfirman dalam surah Al Mujadilah : 11 yang maknanya : Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. 

Rasululah SAW bersabda : man salaka thoriqon yaltamisu fiihi ilman, sahalallahu lahu bihi thoriiqon ilal jannah (barang siapa berjalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga). 

Menuntut ilmu disamping ibadah, juga merupakan jihad. Yakni jihad melawan kebodohan. Jihad melawan keterbelakangan. Maka di sinilah diperlukan kesungguhan yang luar biasa. Sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW : man khoroja fii tholabil ilmi fahuwa fii sabiilillah (barang siapa yang keluar untuk menuntut ilmu maka dia pada jalan Allah). Ilmu adalah cahaya yang menerangi dan menerangi hidup ini. Ilmu adalah petunjuk, sedang kebodohan adalah kegelapan dan kesesatan. (QS Al Maidah : 15-16), yang maknanya : Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. 

16. dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. Ilmu adalah alat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bagaimana kita akan mengenal Allah kalau kita tidak pernah membekali diri dengan ilmu. Ilmu sekaligus juga sebagai petunjuk keimanan dan beramal sholih. Dengan menuntut ilmu berarti kita telah meneladani sifat Allah yang Mulia yakni Al Aliim. Bukankah kita diperintakan untuk berakhlak dengan akhlak Allah. Allah telah memberi anugerah kepada penuntut ilmu dengan rahmah dan maghfirohNya. Sehingga energi yang dimiliki oleh orang aliim, diharapkan mampu meningkatkan kualitas manusia dan menjawab berbagai persoalan manusia. Kesesuaian Antara Ilmu dan Amal 

Selayaknya seorang penuntut ilmu antusias untuk mengamalkan ilmu yang telah didapatkannya, sebagaimana antusias dia dalam mencari tambahan ilmu baru. Karena tujuan pokok menuntut ilmu adalah untuk diamalkan. Mengamalkan ilmu juga menjadi pertanda atas nikmat Allah berupa ilmu, yang dengannya Allah akan menambahkan ilmu sebagai ziyadah (tambahan) nikmat atasnya, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu,” (QS. Ibrahim: 7) 

Maka barangsiapa yang mensyukuri nikmat ilmu dengan amal, niscaya Allah akan menambah nikmat berupa ilmu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdul Wahid bin Zaid, “Barangsiapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan membuka baginya ilmu yang belum diketahui sebelumnya.” 

Orang yang hanya sibuk mencari ilmu namun tidak berusaha mengamalkannya, seperti orang yang mencari uang, namun ia tidak mampu membelanjakannya, lalu apa gunanya dia mencari uang? 

Abdullah bin Mubarak berkata, “Orang yang berakal adalah, seseorang yang tidak melulu berpikir untuk menambah ilmu, sebelum dia berusaha mengamalkan apa yang telah dia miliki, Maka dia menuntut ilmu untuk diamalkan, karena ilmu dicari untuk diamalkan. 

Tentu saja penekanan beliau adalah motivasi untuk mengamalkan ilmu yang telah dimiliki, bukan mengerem atau menjatuhkan semangat untuk menambah ilmu. Bagaimanapun, kita tetap harus senantiasa menuntut ilmu dan terus berusaha mengamalkan ilmu. Tidak dibenarkan juga seseorang yang tidak sudi menuntut ilmu dengan alasan takut akan tuntutannya. Karena berarti dari awal dia sudah tidak memiliki niat untuk mengamalkan ilmu. Akhirnya ia menjadi orang yang bodoh dari ilmu dan kosong dari amal. Tepat sekali jawaban sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ketika seseorang kepada beliau, “Sebenarnya aku ingin mencari ilmu, tapi aku takut menyia-nyiakannya (yakni takut tuntutan mengamalkannya).” Maka beliau berkata, “Cukuplah kamu dikatakan menyia- nyiakan ilmu jika kamu tidak mau belajar. 

Para ulama memandang, seseorang tidak dikatakan alim (orang yang berilmu) kecuali setelah mengamalkan ilmu yang dimilikinya “Innamal ‘aalim, man ‘amila bimaa ‘alim.”(sungguh orang yang yang alim itu adalah orang yang mengamalkan ilmunya) Imam asy-Sya’bi juga berpendapat bahwa orang yang faqih adalah orang yang benar-benar menjauhi segala yang diharamkan Allah SWT dan alim adalah orang yang takut kepada Allah SWT. Jika kita menengok para ulama salaf dan para Imam yang bertabur ilmu, akan kita dapatkan bahwa mereka bukan sekedar ahli ilmu, tapi juga ahli ibadah. Bukan sekedar ibadah yang wajib dan yang tampak, tapi juga ibadah yang sunnah dan yang tersembunyi. 

Seperti Imam Abu Hanifah rahimahullah. Beliau biasa menghidupkan separuh malamnya. Hingga pada suatu hari beliau melewati suatu kaum, dan beliau mendengar mereka berbisik, “Orang ini (yakni Abu Hanifah), menghidupkan malam semuanya untuk ibadah.” Maka Abu Hanifah berkata, “Sungguh! Aku malu kepada Allah, jika aku disebut-sebut dengan sesuatu yang tidak aku lakukan.” Lalu setelah itu beliau selalu menghidupkan malamnya semua. 

Imam asy-Syafi’I berkata : “Sudah sepantasnya seorang penuntut ilmu itu memiliki suatu rahasia antara dia dengan Allah, yakni berupa amal shalih, tidak hanya mengandalkan banyaknya ilmu namun sedikit harapannya untuk akhirat.” 


Mengenal Penyakit Hati

Dr Muhammad Thohir, Sp.Kj

 
Rasulullah SAW bersabda : Inna fil jasadi muthghoh waidza fasadat, fasadal jasadu kulluh, faidzaa waidza sholuha sholuha jasaduhu kulluH alaa wahiya al qalb ( Sungguh dalam diri jasmani ada segumpal darah yang jika dia jelek, maka akan jelek seluruh tubuhnya, dan jika dia baik, maka akan baik seluruh tubuhnya, dia itu adalah hati). Maka makna dari hadis ini bisa dimaknai dengan makna anatomis, karena dimulai dengan kata jasad. Dalam tubuh kita ada organ yang namanya liver, yang sering disebut dengan hati. Kalau liver itu sakit, maka akan sakit seluruh tubuh. Kalau liver itu sehat, maka sehat pula seruluh tubuh. Penyakit hati sebenarnya adalah jika hawa nafsu menguasai diri kita. Kalau kita tidak berupaya melatih diri untuk mengendalikan hawa nafsu, maka hawa nafsu itu akan dominan dan akan menguasai diri kita. Dan pada saat itulah penyakit-penyakit hati akan bermunculan. Sebagaimana firman Allah dalam surah Yusuf : 53 yang maknanya : Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. Sebagai manusia, kita dikaruniai Allah akal dan nafsu. Nafsu bukan barang jahat, karena nafsu adalah motor kehidupan kita. Namun, yang sering terjadi motor itu tidak diberi sistem kendali. Tidak ada rem, tidak ada stir, tidak ada lighting tidak ada tancapan gas. Maka, nafsu itu akan berjalan tanpa kendali dan akhirnya meyimpang dari jalan yang sebenarnya. Bahkan terjerumus dalam jurang kesengsaraan. ( QS An Nazi’aat : 40) yang maknanya : Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya). 

Sebelum di akhirat kelak, di duniapun ini kita akan bisa menikmati kebahagiaan, jika kita bisa mengendalikan hawa nafsu. Namun, pengendalian nafsu ini tidak begitu saja bisa diciptakan, namun melalui usaha demi usaha, dari waktu ke waktu. Dan inilah yang disebut Rasulullah SAW dengan jihaadun nafs (berusaha maksimal untuk mengendalikan hawa nafsu). Ketika Rasulullah SAW dan bala tentaranya pulang dari perang Badar, perang terbesar di antara perang-perang lainnya. Beliau bersabda : Kita dari perang kecil, menujuk ke perang yang lebih besar. Para sahabat heran dengan pernyataan Rasulullah SAW ini. karena mereka menganggap bahwa perang Badar adalah perang yang besar dan luar biasa, namun dikatakan masih kecil dan akan menghadapi yang lebih besar. Kemudian para sahabat bertanya : Perang apa itu ya Rasulullah? Beliau menjawab: “Perang melawan hawa nafsu”. Kenapa lebih besar? Karena musuhnya tidak tampak, waktunya tidak tertentu, kapan saja bisa terjadi, dan tidak ada gencatan senjata. 

Kalau itu mampu mengendalikan nafsu itu, maka nafsu itu akan dirahmati oleh Allah. Illa mar rohima ribbiy (kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku). Misalnya nafsu sexual, melalui pernikahan dan perkawinan, maka akan menghasilkan anak keturunan yang bisa meneruskan species generasi manusia yang membahagiakan orang tuannya. Demikian pula nafsu untuk mencari sesuatu, mencari nafkah dan sebagainya, kalau terkendali dengan baik, maka itu akan menghasilkan rizky yang halal, yang tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri, tetapi bisa dinikmati orang lain, dengan bershodaqah, zakat, infaq. Itulah nafsu yang bisa dikendalikan dan dirahmati oleh Allah SWT. Namun, sering kali kita lengah, sehingga hawa nafsu itu menang dalam peperangan melawan kita, sehingga dia mengusai diri kita, mendominasi kehidupan kita. Maka, fithroh (hati nurani) terhalangi oleh nafsu itu, maka muncullah penyakit-penyakit hati. Misalnya timbul sifat sombong, takabbur, merasa dirinya besar. Padahal dengan sifat kesombongan inilah iblis dilaknat oleh Allah. Akan timbul pula sifat dendam (tidak memafkan kesalahan orang lain). Padahal tanda ketaqwaan adalah memaafkan orang yang bersalah. (QS Ali Imron : 134) 

Indikasi sosial dari ketaqwaan adalah saling memaafkan, saling berlapang dada. (QS An Nuur :22) yang maknanya : Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 

Maka sikap dendam, bahkan ada ungkapan “tiada maaf bagimu”, itu adalah sikap yang anti taqwa. Sikap orang bertaqwa adalah memaafkan, walaupun tidak diminta. Allah Afuwwun Ghofuur (Maha Pemaaf dan Maha Pengampun). Rasulullah SAW berpesan : Takhollaquu biakhlaaqillah (berakhlaklah kalian dengan sifat Allah). 

Maka, marilah kita mengkhusyu’kan hati dalam dzikrulloh, untuk mengendalikan nafsu. Nafsu kita harus kita manfaatkan dengan sistem kendali iman dan taqwa, semoga akan membawa manfaat bagi kehidupan kita.