Home » » Islam, dan Ajaran Jihad

Islam, dan Ajaran Jihad

KH Ali Maschan Moesa

Jihad secara bahasa adalah mashdar (bentuk kata benda) dari jahada-yujaahidu-jihaadan. Menurut fiqih madzhab Imam Syafi’i secara bahasa : Badzala juhudan fii sabiilil ushuul ilaa ghooyatin ma (mencurahkan kesungguhan, untuk mencapai tujuan apapun). Jihad secara istilah adalah : Badzlul juhudi fii sabili iqaamatil mujtamatil islaami wa antakuuna kalimatullahi hiyal ‘ulyaa (mencurahkan kesungguhan dalam rangka menegakkan mayarakat Islam dan untuk menjadikan agama Allah di tempat yang paling tinggi). 

Mengutip pendapat Imam Syafi’i, bahwa jihad itu ada empat macam : Pertama, aljihaadu bit ta’liim, berjihad dengan cara mengajarkan agama Allah. Kedua, aljihaadu bibadzlil maal berjihad dengan cara mengeluarkan harta untuk menegakkan agama Allah. Ketiga, jihaadu nafsi, berjihad dengan melawan hawa nafsu. Keempat, al jihaadul bilqitaal, berjihad dengan perang. (QS.Al Baqarah : 218, Al Anfaal : 72) Dan masih banyak lagi ayat yang menjelaskan tentang jihad yang redaksinya hampir sama, bahwa jihad dengan harta dan diri kita. Rasulullah SAW menjelaskan As sa’i ‘alah armalati kal jihad fii sabiilillah (orang yang membantu janda-janda miskin itu adalah jihad di jalan Allah). Sementara ini banyak orang yang mempersepsikan dan memahami bahwa jihad itu hanyalah berperang fisik. Padahal, perang fisik itu adalah salah satu bentuk dari jihad. Jadi, membantu fakir miskin, membantu anak-anak yatim, mengajarkan agama Allah, itu semua pada dasarnya adalah jihad di jalan Allah. 

Rasulullah SAW setelah diangkat menjadi Nabi dan Rasul, berjuang di Makkah selama 13 tahun. Musuh semakin banyak dan semakin membabi buta untuk menyerang Rasulullah SAW dan pengikutnya pada saat itu. Kemudian Allah memerintahkan hijrah dari Makkah ke Madinah. 

Ketika di Madinah, Rasulullah SAW mengadakan perjanjian-perjanjian. Dan pertama kali yang dilakukan adalah seluruh komponen, kelompok yang ada di Madinah, baik muslim maupun non muslim dikumpulkan. Karena di Madinah terdiri dari banyak suku agama dan keyakinan. Kemudian mengadakan perjanjian yang dikenal dengan miitsaalul madiinah (perjanjian Madinah). Sebagaimana disebutkan dalam muqaddimah Ibnu Khaldun, bahwa muqaddimah perjanjian Madinah adalah “Ini perjanjian antara Muhammad SAW sebagai wakil umat Islam, baik umat Islam Quraisy Makkah, maupun umat Islam Yasrib Madinah bersama dengan orang yang mengikuti perjanjian ini dan orang yang menanda tangani perjanjian ini, bahwa semua adalah umat yang satu”. Dengan demikian, berbangsa itu tidak harus seagama. Rasulullah SAW memberi contoh membangun sebuah negara, berdasarkan pluralitas. Setelah mengadakan perjanjian-perjanjian damai dengan kelompok-kelompok yang ada di Madinah, kemudian Nabi mengadakan perjanjian-perjanjian dengan kelompok-kelompok di luar Madinah. Setelah itu, di antara kelompok-kelompok itu mulai ada yang ingkar janji, ada yang menentang bahkan ada yang mempersiapkan perlawanan. Di sinilah kemudian Rasulullah SAW mempersiapkan pasukannya berperang untuk melawan pemberontak-pemberontak itu. 

Sebenarnya berperang itu merupakan sekian dari strategi dakwah. Dan dalam peperanganpun tidak yang penting membunuh musuh, tetapi jika mereka menerima Islam dengan suka rela, tidak akan dibunuh walaupun dalam kondisi bisa dibunuh. Rasulullah SAW pernah dalam suatu peperangan yang dimenangkan oleh umat Islam, beliau duduk di bawah pohon. Tanpa dikira ternyata masih ada seorang musuh yang masih hidup. Serta merta mengambil pedangnya Rasulullah yang digantung di atas pohon, lalu menodongkan pedang tersebut di leher Rasulullah SAW. Sambil menodongkan pedang dia berkata : Muhammad ! siapa yang membela kamu? Dengan tenang Nabi menjawab : “Allah”. Lafadz Allah jika diucapkan ikhlas dari dalam hari dan yang mengucapkan seorang Nabi gunung pun bisa meletus. Apalagi pedang, tentu langsung jatuh. Setelah jatuh, lalu diambil oleh Nabi dan ditodongkan kepada orang tersebut dan bertanya : “Siapa yang akan menjadi pembelamu?”. Sambil bergetar ketakutan dia mengatakan : “Muhammad jadilah engkau orang yang paling baik membalas. Maksudnya saya jangan dibunuh ya Muhammad. Rasulullah menjawab : “Kamu tidak saya bunuh, tetapi bersyahadatlah”. Namun orang tersebut keberatan, tetapi Rasulullah tetap melepasnya dan membiarkan pergi. Karena beliau sadar bahwa berperang itu tidak membunuh, tetapi tugas menyampaikan risalah suci, menyebarkan Islam, menyelamatkan orang. 

Dalam kontek ini ada dua analisis pendekatan. Pendekatan fiqih, dimana secara fiqih Nabi boleh dan berhak untuk membunuh. Dan pendekatan akhlak dan strategi dakwah. Dan Nabi memilih yang kedua ini. Menurut riwayat lain, orang tadi adalah seorang kepala suku dan merupakan orang yang paling disegani oleh pengikutnya, yang sebelumnya selalu mengolok-olok Nabi mengobarkan perang dengan Nabi, bahkan mengatakan Muhammad harus dibunuh. Setelah kejadian itu, dia kembali kepada pengikutnya dan mengatakan bahwa Muhammad adalah orang yang paling baik yang saya temui. Nah, dengan persepsi yang dimiliki inilah, maka untuk bersyahadat tinggal menunggu waktu. Dan menurut riwayat kepala suku itu bersyahadat dengan diikuti oleh pengikut-pengikutnya. Jika Nabi memutuskan memperlakukan dia berdasarkan fiqih, dan orang tadi dibunuh, dan tentu dakwah akan berhenti di situ. 


0 komentar:

Posting Komentar