Home » » Tasamuh, Ta’awun dan Tadlomun

Tasamuh, Ta’awun dan Tadlomun

Prof. DR H. Ali Maschan Moesa, MSi


Sosok manusia adalah makhluk yang penuh dengan kekurangan. Secara fisik memang Allah mengatakan fi ahsani taqwim (bentuk yang terbaik), bahkan ada yang memberi penafsiran bukan hanya secara fisik yang membedakan penafsiran fi ahsani taqwim dengan kejadian yang baik itu, karena manusia diberi akal oleh Allah SWT, di samping potensi-potensi yang lain. Tetapi apapun manusia mempunyai kekurangan dan kelemahan, bisa berbuat khilaf, bisa berbuat baik, tetapi terkadang juga semangat berbuat yang jelek yang prosentasinya hampir sama. Maka Allah menyatakan fa alhamahaa fujuurahaa wataqwaahaa. Jadi manusia memiliki dua kecenderungan yang relatif sama yaitu fujur (berbuat dosa yang jelek, yang tidak professional, yang kontra prodiktif, yang merugikan orang lain ataupun kepada dirinya sendiri). Tetapi juga kadang-kadang manusia semangat berbuat baik (wataqwaahaa ). Inilah yang menarik bahwa kadang-kadang orang berbuat baik kadang-kadang berbuat jelek, itu akhirnya tergantung lingkungannya. Dan kalaupun sampai manusia berbuat dengan kekurangan, di sinilah Allah memberikan contoh doa kepada kita (Ya Allah janganlah engkau menghukum kepada kami, kalau kami salah atau lupa). Bahkan kalau memang beban hidup ini makin berat, dan kita sudah tidak mampu, Allah juga memberi do’a kepada kita (Ya Allah janganlah engkau memberi beban, diluar kemampuan yang kami memang tidak kuat untuk menerimanya atau melakukannya). 

Di sinilah secara horizontal manusia ada yang diberi kemampuan, ada yang tidak, baik kemampuan ilmu, kemampuan harta, kemampuan yang bersifat fisik maupun psikis. Di sebuah propinsi ada sebuah penelitian hasil sensus kesehatan nasional tahun 1998 menyebutkan bahwa karena penduduknya sakit terus, provinsi tersebut mengeluarkan harta untuk berobat sampai 90 milyard. Padahal anggaran pemerintah pusat untuk provinsi tersebut untuk kesehatan hanya sekitar 35 milyard, ternyata 1/3 dari pada PAD (Penghasilan Asli Daerah) tersebut. Ini menggambarkan betapa sering kali kalau orang itu tidak sehat akan menghabiskan uang banyak. Belum pengaruhnya terhadap usia, bisa saja orang kalau tidak sadar dengan kesehatan usianya relatif pendek. Hal ini bisa dibuktikan mengapa orang Jepang dan negara-negara yang lebih maju yang memahami kesehatan, sadar kesehatan, mayoritas umurnya lebih panjang dibanding negara–negara yang sedang berkembang semacm Indonesia. Artinya kita harus kembali kapada Allah, kita harus berikhtiar karena Allah tidak akan merubah nasib seseorang, nasib suatu kelompok, kalau dia tidak berusaha. Jadi sehat itu tidak semata-mata, memang hal ini tidak lepas dari adanya taqdir Allah, tetapi manusia juga diberi hak untuk berusaha. 

Karena Allah memberikan manusia kekurangan, kelemahan, maka dalam Islam ada konsep yang disebut dengan ta’awun (tolong menolong) bagi mereka yang dalam keadaan lemah. Harus ada tasamuh (toleran) dalam perbedaan pendapat, karena kualitas orang tidak sama, bahkan cara dan kualitas belajar agamanya tidak sama sehingga kadang pendapatnya tidak sama, nah di situlah kita juga harus toleran. Di samping itu, dalam Islam ada juga konsep tadlamun (saling melindungi). 

Ada sebuah riwayat yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud, dia pernah marah mendengar khalifah yang ketiga Sayidina Utsman ketika di Mina pada saat menunaikan ibadah haji, beliau mengerjakan shalat tidak dijama’ dan tidak qashar, padahal menurut riwayat Nabi mengerjakan jamak qashar. Dia (Ibnu Mas’ud) semangat mendatangi Sayidina Utsman. Alhamdulillah, Sayidina Utsman waktu itu sembahyang dan Ibnu Mas’ud pun ikut sembahyang di belakangnya. Seperti biasa, Sayyidina Utsman sembahyang dengan tidak jamak dan tidak qashar. Ketika selesai para sahabat bertanya kepada Ibnu Ma’ud : Bukankah kamu tadi berniat ingin mengingatkan khalifah ?. Ibnu Mas’ud menjawab dengan singkat “ Bertengkar itu jelek”. Nah itulah sahabat-sahabat Nabi yang selalu memberi respon tentang keteladanan. Rasulullah sendiri memberi keteladanan. Saat itu setelah Dzuhur Rasulullah SAW memberangkatkan beberapa orang untuk datang ke kampung Bani Quraidlah untuk berdakwah. “ Berangkatlah kalian sekarang berdakwah ke Bani Quraidlah, pesan saya, jangan shalat Ashar sebelum sampai di Bani Quraidlah”. Namun ketika di tengah jalan dan belum sampai di kampung Bani Quaridlah, waktu Ashar akan habis, sehingga terjadilah perbedaan pendapat di antara mereka. Pendapat pertama, berargumentasi bahwa mereka harus shalat di perjalanan karena meyakini bahwa Rasul berpesan untuk tidak shalat di jalan itu kalau waktu Ashar masih ada. Tetapi pendapat separuh dari mereka tidak mereka tidak mau melakukan shalat di jalan karena yang dipegangi teks yang tersurat, Rasul kan menyatakan jangan sembahyang Ashar kalau belum sampai di kampung Quraidlah, terjadilah dua pendapat. Selesai berdakwah di kampung Quraidlah, rombongan ini pulang dang langsung menghadap Rasulullah SAW, dan mengadukan persoalan perbedaan pendapat yang dialami di perjalanan tersebut. Apa jawab Nabi ? Benar semua. Mengapa demikian? Karena Nabi kalau menjawab pertanyaan seseorang dilihat tingkat kemampuannya orang tersebut. Hinga beliau bersabda : Khatibu-an nas ‘ala qadri ‘uquulihim (Berbicaralah kepada manusia sesuai kemampuannya). 

Jadi kalau berkata kepada masyarakat, dilihat dulu kemampuan ilmunya. Itulah yang pernah terjadi ketika seorang Arab dari desa ketika menghadap Nabi, tetapi masih di atas unta sudah berteriak memanggil Nabi : ”Hai Muhammad, Hai Muhammad, berilah pelajaran untuk saya”. Berkata seperti itu di hadapan seorang Nabi dalam keadaan masih di atas unta, hal ini tidak punya sopan-santun, sehingga Sayyidina Umar langsung menghunus pedang, sambil berkata : “Kamu di depan Nabi tidak sopan”. Tetapi apa reaksi Nabi? Beliau justeru mengingatkan Sayyidina Umar : ”Dia itu belum mendapatkan pelajaran akhlaq, Khatibu-an nas ‘ala qadri ‘uquulihim”. Itulah konsep Islam, kalau kita menjalankannya dengan baik, alangkah indahnya kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dalam kontek nation state di Indonesia ini. 

Dalam Islam ada konsep tasamuh, ukhuwah, tadlommun, apalagi sesama muslim yang mendapatkan kesulitan-kesulitan sebagaimana musibah yang akhir-akhir ini datang. Betapa besar penilaian dan apresiasi masyarakat terhadap musibah yang sampai hari ini makin besar. Ada yang sampai putus asa, sehingga untuk menghentikan musibah ini ia menghitung model klenik, kalau rumahnya menghadap ke timur, supaya selamat harus selamatan beras ketan (Jawa : ngetan). Kalau rumahnya menghadap ke barat harus ada kue kleponnya (Jawa : ngulon). Kalau menghadap ke selatan harus ada jenang gerendul (Jawa Ngidul). Itulah tingkatan dalam pengetahuan agama , bisa saja orang-orang yang punya keyakinan seperti ini memang belum ada penjelasan-penjelasan yang mencerahkan mereka. Itulah konsep tadlammun (melindungi) harus diterapakan bukan hanya memberi uang, paling tidak memberi pencerahan ilmu, pencerahan keyakinan, pencerahan terhadap keimanan. Hubungan ini adalah hubungan hablumminallah-hablummiannas (hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia) yang bisa dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan. 

Jangan sampai rutin bangun malam shalat lail, puasa setiap hari Senin Kamis, tetapi tetangga dalam keadaan sulit diam saja. Bahkan Rasulullah mengancam kalau ada orang di suatu malam perutnya dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya dalam keadaan lapar, dia tahu, namun tidak mau membantu Nabi menyatakan orang semacam ini haram masuk surga. mengapa ? Karena tidak ada ta’awun, dan tadlammun dengan sesama. 

Suatu ketika ada seorang sahabat datang kepada Rasulullah SAW. Kemudian ditanya : ”Kamu tadi naik apa?, ”Biasa ya Rasul naik onta” Jawabnya. ”Di mana onta kamu?” tanya. ”Sudah saya lepas, hilang atau tidak hilang saya tawakkal saja atas takdir Allah ya Rasul, saya kembalikan kepada Allah” jawabnya. Apa komentar Nabi, ”Kamu keliru, kamu belum ikhtiar, kamu tali dulu, kemudian baru tawakkal kepada Allah”. Manusia diberi kebebasan oleh Allah free will (kebebasan berkeinginan) dan free action (kebebasan untuk beraksi) atau berbuat. Memang keputusan final ada di tangan Allah, tapi manusia wajib berikhtiar. 

Mungkin kita makin sulit, tapi kalau dengan sadar dan berusaha terus tidak mengenal putus asa, maka Allah meyakinkan kita inna ma’al ‘usri yusraa, (setiap kesulitan pasti ada kemudahan-kemudahan). Mari kita berusaha merubah cara berfikir kita. Orang sekarang berfikirnya hanya final logic, yang penting berhasil, proses menjadi berhasil ini baik atau tidak, terkadang tidak kita pikirkan. Yang penting kita tebangi hutan selesai, yang penting saya dapat uang, tapi tidak memikirkan apa akibatnya. Minyak, batu bara, emas, perak, kita eksplorasi, tanpa ada pikiran bagaimana eksesnya, apa akibatnya kita tidak perhatikan, yang penting berhasil, itulah yang disebut berpikir logika final. Itulah mengapa dalam Islam ada konsep fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah. Tetapi kalau di dunia saja kita ngatur tidak professional, bagaimana kita mau ngatur urusan akhirat. Itu artinya apa? kalau kita ingin di akhirat baik, aturlah dunia dengan professional, jangan berfikir hati ini, kita berfikir untuk anak-anak keturunan kita juga.


0 komentar:

Posting Komentar