Mengapa Syi'ah Bermasalah

KH Abdusshomad Buchory (Imam Besar MAS)



Mari kita bersyukur kepada Allah SWT karena kita sebagai bangsa Indonesia yang penduduk muslimnya terbesar di dunia. Walaupun ada Negara yang penduduknya terbesar, misalnya China, India dll, namun umat Islamnya minoritas. Umat Islam di Indonesia saat ini sekitar 87 % muslim. Kita ketahui, bahwa Islam ada beberapa faham di antaranya ; faham Sunnni, Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, Jabariyah dan lain sebagainya. Islam di Indonesia adalah menganut faham Sunni, walaupun organisasi berbeda-beda, misalnya NU, Muhammadiyah, Alkhoiriyah, Al Irsyad, Alwashliyah, Mathla’ul Anwar, Tarbiyah Islamiyah, Persis, Al Bayyinaat, Al Khoiriyah dlsb. Masing-masing organisasi ini tentu mempunyai perbedaan, namun perbedaannya bukan furu’iyah (hal-hal cabang), tetapi hal-hal yang kecil. Dan di Indonesia dikumandangkan “ukhuwwah Islamiyah” dalam rangka meminimalisir benuturan-benturan yang terjadi karena perbedaan hal-hal furu’iyah ini. Misalnya berbeda dalam amalan qunut, adzan Jum’at, ada yang dua kali ada yang satu kali, ada yang pakai tongkat ada yang tidak. Semua itu perbedaan yang sangat kecil dan hanya hal-hal cabang saja. Terhadap perbedaan inilah yang terus didengungkan tentang ukhuwah Islamiyah, dan sudah tampak berhasil walupun belum sempurna. Sehingga ketenangan dan keharmonisan bisa dijaga sampai saat ini. 

Bagaimana dengan Syi’ah? Syiah bukan Sunni. Syiah berbeda dengan Sunni. Dan perbedaannya adalah masalah ushuliyyah ( pokok), dan juga masalah furu’iyah. Misalnya; shalat Jum’at menurut Sunni adalah wajib ‘ain bagi setiap muslim laki-laki. Tetapi Syiah tidak mewajibkan. Dalam faham Syiah, Jumatan adalah termasuk ikhtiyaary (memilih). Kalau dia boleh memilih shalat Dhuhur apa shalat Jum’at. Shalat Jum’at belum wajib hingga datang Imam Muhtadhar (Imam Mahdi). Tentang Al-Qur’an mereka berkeyakinan bahwa Kitab Suci ini nanti akan ada takhrif (ada perubahan). Mereka berkeyakinan akan turun lagi Al Qur’an sekitar 17 ribu ayat yang sekarang masih tersimpan, dan nanti akan hadir ketika imam itu hadir. Sementara kalau Sunni meyakini bahwa Al-Qur’an dijaga kesuciannya oleh Allah, mulai zaman Rasulullah SAW hingga akhir zaman tidak ada perubahan. Mulai turun melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dihafal dan diajarkan kepada shahabat dan shahabat pun menghafal dan seterusnya hingga sampai kepada kita. Merka ragu terhadap Al-Qur’an, padahal Al-Qur’an menerangkan bahwa Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya. ( Q.S. Al Baqarah : 2). Yang maknanya : Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. 

Kemudian, orang Sunni mengakui Khulafaurrasyidiin (Abu Bakar, Umar bin KLhatab, Utman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib) sebagai pemimpin yang mengganti Rasulullah SAW. Tetapi orang Syiah menolak keberadaan Abu Bakar, Umar dan Utsman. Yang ketiganya dianggap meampok jabatan Ali. Oleh sebab itu, orang Syiah menolak hadits Kutubus Sitah tidak mau hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori, Imam Muslim, Nasa’I, Ibnu Majah, , Abu Hurairoh Aisya dlsb. Mereka mempunyai kitab sendiri namanya Al Kafi, Tahdzib al Ahkam, Al Istibshor, Man Laa Yahdhurul al Faqiih dll. Dari kitab tersebut dapat diketahui adanya perbedaan yang mendasar, di antaranya : Hadist menurut faham Syiah berbeda dengan pengertian ahlual sunnah. Menurut Syiah hadist meliputi af’al, aqwaal, dan taqrir yang disandarkan tidak hanya kepada Nabi Muhammad tetapi juga para imam-iman Syiah. Faham Syiah menyakini bahwa imam-imam adalah ma’sum seperti para nabi Faham Syiah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan (Imamah) termasuk masalah aqidah agama. Faham Syiah mengingkari otentisitas Al- Qur’an dengan mengimani adanya tahrif Al-Qur’an. Faham Syiah meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur’an yakni yang disebut mushhaf Fatimah. Faham Syiah orang yang tidak mengimani terhadap imam-imam Syiah adalah Syirik dan Murtad dan masih banyak yang lainnya. 

Di samping itu Syiah juga menghalalkan nikah Muth’ah (nikah yang dibatasi oleh waktu). Misalnya nikah untuk satu jam, dua jam, satu hari dua hari, ini dibolehkan. Sementara Sunni mengharamkan. Disamping ada dasar hukum naqli yang mengharamkan, jika dibiarkan akan terjadi penyakit social, karena akan terjadi prostitusi terselubung. Padahal di Indonesia umumnya dan Jawa Timur khususnya lagi gencar-gencarnya menata kota bersih dari praktek asusila. Mereka sudah mulai banyak yang sadar dan bertaubat. Jika nikah Muth’ah diperbolehkan maka akan terjadi prostitusi terselubung, sehingga menghambat program pembangunan yang telah dicanangkan. 

Untuk itu, MUI Jawa Timur sudah menyatakan bahwa Syiah adalah termasuk aliran sesat, terutama Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah. Ada yang lebih ekstrim lagi namanya Ghulat, yang menyatakan bahwa Imam-imam itu mempunyai sifat ketuhanan. Dan juga menuduh kepada Jibril yang membawa wahyu salah alamat, seharusnya kepada Ali bin Abi Tholib, tetapi diberikan kepada nabi Muhammad SAW. Aliran ini yang membawa adalah Abdullah bin Saba’, orang Yahudi yang sengaja ingin mengacaukan umat Islam. Sehingga Indonesia dalam rangka NKRI dibutuhkan orang-orang Sunni. Kalau tidak, maka Indonesia akan terjadi perang saudara seperti Irak, Libanon dll. Hal ini harus diperhatikan oleh penyelenggara pemerintahan, ulama’ politisi dll. Saya ingin mengingatkan mumpung aliran ini belum menjadi besar, walaupun kantong-kantingnya sudah banyak seperti di Jawa Timur berada di Bondowoso, Jember, Madura, Pasuruan, Bangil, Surabaya dll. Sedang di luar Jawa ada di Lampung, Makassar dsb. 

Dalam kesempatan ini sekaligus meluruskan berita tentang kasus di Madura. Di banyak media diberikan kalau pondok pesantren Syiah dibakar. Kenyataannya tidak ada pondok pesantren yang dibakar, yang ada adalah langgar kecil yang terbuat dari bambu. Ada juga rumah yang dibakar yang antara satu dengan lain berjauhan jaraknya beberapa kilometer di antaranya. Dan kasus ini sudah berlangsung sejak tahun 2005, dan sudah ada komitmen, bahwa mereka diberitahu oleh ulama’ penduduk di situ yang menganut faham Sunni, dan memberi opsi, kalau mereka berada di sekitar situi harus kembali kepada Sunni, jika mereka ingin mengembangkan Syiah jangan di situ. Dan jika masih tetap di situ kemudian mengembangkan ajaran Syiah, tidak ditanggung keamanannya. Jadi penegak hukum jangan hanya bicara tentang anarkhisme. Memang orang membakar rumah, apalagi musholla secara pidana salah, tetapi perlu dibahas pula factor pemicu adanya kekerasan itu. Di negeri ini kurang diangkat oleh media bahwa ada sebab yang menimbulkan suatu akibat, ada aksi sebelum reaksi. Dan penyebabnya tentu propokator, yang tentu bisa dituntut menurut hukum. Dalam UU no 39 tahun 1999 tentang masalah HAM, dalam pasal 28 huruf c bahwa Hak Asasi Manusia tidak boleh merusak hak-hak orang lain. Ketika masyarakat sudah tenang tidak ada pertentangan apa-apa, kemudian ada faham baru masuk mempengaruhi, tentu saja menjadikan keresahan dan pada akhirnya terjadilah kemarahan itu. Nah, orang yang datang kemudian menimbulkan keresahan itulah yang dinamakan provokator sehingga bisa dituntut di pengadilan. 

Dengan demikian jawaban atas tema di atas, kenapa Syiah bermasalah adalah karena berbeda dengan Sunni dalam masalah ushuliyah dan furu’iyah. Dan kalau dalam kontek Indonesia, bahwa mayoritas fahamnya adalah Sunni, jika faham Syiah dipaksakan berdiri dan berkembang di negeri ini, maka akan terjadi benturan-benturan yang sulit dicarika titik temu. 

Ada pendapat yang menarik dari komisi VII RI yakni di Indonesia ini perlu payung hukum untuk melindungi kaum Sunni. Untuk itu, kalau Indonesia ingin NKRI dijaga, agar tidak dirongrong oleh orang lain, maka perlu payung hukum yang melindungi Sunni di Indonesia. Di Malaysia, Brunei Darussalam Syiah sudah dilarang, karena Islam adalah agama Negara dan mengikuti faham Sunni, sehingga ketika bertentangan dengan Negara, maka dilarang oleh Negara. Di Indonesia payung hukum seperti itu tidak ada. Hal ini menjadi bahan pertimbangan bagi para politisi, sebab memang ada upaya dari luar agar kerukunan umat di Indonesia kacau.


Menempuh Jalan Lurus, Dunia Hingga Akhirat

Syekh DR Mus’id bin Musa’id AlHusaini, MA 

Allah SWT telah menganugerahkan nikmat yang banyak kepada kita semua, hingga tidak dapat menghitungnya. Di antara nikmat itu, adalah nikmat hidayah, yakni mengikuti petunjuk Allah SWT. Dan nikmat itu adalah Islam, yang dengannya Allah mengutus RasulNya yang termulia. Allah menurunkan kitabNya yang terbaik. Allah menjadikan Islam sebagai agama yang diridhoiNya di muka bumi ini. Rasulullah SAW telah menyampaikan risalah Allah SWT dengan sempurna. (Q S An Nisa’ :113) yang maknanya : Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. dan (juga karena) Allah telah menurunkan kitab dan Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu. 

Allah SWT menyebutkan tentang nikmat yang besar ini pada manusia, yakni kepada orang-orang beriman. Tatkala Dia mengutus kepada mereka seorang Rasul yang menyampaikan ayat-ayat Allah, mengajarkan kitab dan hikmah, membersihkan dan mensucikan jiwa-jiwa mereka. 

Islam adalah agama yang lurus yang diridhoi Allah SWT. Yang dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasullah SAW itu, Allah menunjuki manusia menuju jalan yang lurus. Orang yang mengikutinya dengan istiqamah, maka dia akan menemukan kebahagiaan. Karena dengan mengikutinya, dia akan menemukan ketenangan hati, istiqamah dalam berbagai perbuatan, dan bisa memperbaiki berbagai situasi dan kondisi. Maka dengan agama Allah ini, dan dengan jalanNya yang lurus ini, Allah menurunkan Wahyu Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW sebagai petunjuk menuju jalan yang lurus tersebut. 

Kemudian di antara nikmat Allah yang dianugerahkan kepada kita adalah dengan disempurnakan agama Islam ini. Dan kesempurnaan agama itu disebutkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’anul kariim. (Q.S Al Maidah : 03). Yang maknanya :……….pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu….. 

Allah menjelaskan tentang agama tersebut dalam Al-Qur’an dan begitu pula Rasulullah SAW telah menjelaskan tentang jalan yang lurus itu, melalui hadis-hadisnya. Di antaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhu. bahwa Rasulullah SAW pernah suatu ketika beliau membuat suatu garis lurus, kemudian beliau mengatakan bahwa ini adalah jalan menuju Allah yang lurus. Kemudian beliau membuat garis-garis yang lain di sisi garis yang lurus tersebut, kemudian beliau bersabda bahwa ini adalah jalan yang banyak, dan pada setiap jalan ada syetan yang mengajak manusia menuju jalan-jalan itu. Kemudian Rasulullah SAW membacakan firman Allah SWT surah Al An’am : 153. Yang maknanya : dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. 

Seorang muslim seharusnya mengenal dan mengetahui jalan yang lurus itu. Dan jalan yang lurus itu adalah Islam yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dengan wahyu Allah Al-Qur’anul Kariim, dan Sunnah Rasulullah SAW. Kebutuhan seorang hamba terhadap ilmu untuk mengetahui jalan yang lurus itu, lebih dari kebutuhan seorang hamba terhadap makan dan minum. Allah SWT telah menjelaskan tentang jalan tersebut di dalam surah Al Fatihah, yakni surah yang terbesar, yang diturunkan kepada Rasulullah SAW,dan tidak pernah diturunkan dalam Taurat dan Injil, yaitu pada ayat 7 yang maknanya : yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. 

Jalan itu adalah jalan yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Yang merupakan suatu kewajiban bagi seorang hamba untuk mempelajarinya. Maka dari itu Rasulullah SAW telah bersabda : Tholabul ilmi fariidhotun alaa muslim (bahwa menuntut ilmu adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim. Maka merupakan kewajiban bagi kita untuk mempelajari ilmu yang dengan ilmu itu, dia bisa memperbaiki aqidahnya, dan dengan ilmu itu dia bisa memperbaiki ibadahnya. Dan inilah jalan yang dipanggil oleh Allah SWT kepadanya. 

Ciri dari jalan tersebut adalah dengan cara menuntut ilmu yang benar dan melakukan amal yang sholih, amal yang dibangun di atas ilmu, amal yang dibangun di atas dalil, sesuai yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sebagai muslim, hendaknya kita melaksanakan kewajiban kita kepada Allah SWT, yang dalam menempuh jalan tersebut kita memberikan hak Allah yaitu dengan mentauhidkan Allah SWT, dan kita melaksanakan hak, atau memberikan hak nabiNya, dengan beriman dan mengikuti jalan beliau. 


Jalan yang lurus yang telah diajarkan oleh Allah melalui RasulNya, yakni dengan beriIslam yang benar. Di antara keistimewaan jalan yang benar itu adalah jalan yang tetap, jalan yang tidak bengkok, jalan yang lurus di atas tuntunan Allah SWT dan RasuluNya. Kemudian jalan ini menunjuki manusia dan orang-orang yang menempuhnya, kepada tujuannya, yakni menuju kepada Allah SWT, untuk mendapatkan cinta Allah dan keridhoanNya. 

Jalan ini adalah jalan yang dekat, tidak jauh. Apabila seorang menempuhnya maka dia akan bertemu dengan apa yang dicita-citakan, yakni bertemu dengan Allah dengan keridhoanNya. Dan jalan tersebut adalah jalan yang luas, yang menampung siapa saja yang mengikutinya, maka hendaknya kita tetap tegar di atas jalan yang lurus ini. Karena Allah telah menjanjikan di akhirat yakni (Ash Shiraath (jalan) yang akan ditempuh oleh manusia. Dan Allah meletakkan jalan tersebut di atas neraka Jahannam. Yang mana di atas shirath (jalan) itu, ada orang yang menyeberangnya dengan begitu cepat, ibarat kilat. Ada pula yang menyeberangnya dengan cepat, ibarat angin yang kencang. Ada pula orang yang menyebrang di jalan tersebut secepat kuda yang lari dengan kencang. Ada pula yang menyeberangnya dengan berjalan, adapula yang dengan berlari dan seterusnya. Dan adapula di antara manusia yang mereka akan disambar, kemudian dilemparkan ke dalam neraka, sewaktu melewati jalan tersebut. 

Sebagaimana di dunia ini Allah telah menetapkan shiratul mustaqiim, (jalan yang lurus) yakni Al-Qur’an dan As Sunnah, mengikuti Allah dan RasulNya. Namun di sana banyak tantangan-tantangan, di sana ada hal-hal yang bisa menyesatkan manusia dari jalan yang lurus tersebut, ada hal yang sangat berbahaya. Hal-hal yang menyesatkan tersebut adalah syahwat, yang menyimpangkan manusia dari jalan yang lurus, dan subhaat , hal-hal yang rancu, sesuatu hal yang menjadikan dia ragu terhadap agamanya. Sebab apabila seorang yang ada di dunia ini mampu untuk melindungi dirinya dari ajakan syahwaat dan subhaat, dan dia istiqamah di atas jalan yang lurus, dengan mengikuti tuntunan Allah dan RasulNya, maka Insyaallah di akhirat kelak, dia akan menempuh jalan yang lurus itu di atas neraka Jahannam dengan cepat, dan dia selamat dari adzab Allah SWT. 

Semoga kita semua mendapat hidayah Allah SWT untuk tetap (istiqamah) berjalan di jalan yang lurus, sampai akhir hayat, sehingga kita akan selamat di dunia dan selamat di akhirat. Amin. 


Mendalami Makna Ukhuwah

Prof DR H Ridwan Nasir, MA

Umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya, pada saat ini cukup memprihatinkan, karena banyak musibah yang menimpa. Di sisi lain sering terjadi keretakan-keretakan yang terkait dengan ukhuwah (persaudaraan), baik ukhuwah Islamiyah, wathoniyah, maupun basyariyah. Terjadinya keretakan ukhuwah ini sebenarnya berawal dari merasa gengsinya seseorang untuk meminta maaf kepada orang lain. Atau tidak mau mengakui bahwa dirinya bersalah. Manaka mereka sadar apa yang diajarkan Rasulullah SAW. Utama-utamanya ahli dunia dan akhirat, pertama, engkau mengadakan sillaturrahim kepada yang enggan menjalin hubungan denganmu. Kedua, memberikan kepada seseorang yang enggan memberikan sesuatu kepadamu. Ketiga, engkau memaafkan orang yang mendholimimu. 

Kata ukhuwah berakar dari kata kerja akha, misalnya dalam kalimat “akha fulanun shalihan”, (Fulan menjadikan Shalih sebagai saudara). Makna ukhuwah menurut Imam Hasan Al Banna: Ukhuwah Islamiyah adalah keterikatan hati dan jiwa satu sama lain dengan ikatan aqidah. hakekat Ukhuwah Islamiyah: Nikmat Allah (Q.S. 3:103). Perumpamaan tali tasbih (Q.S.43:67). Merupakan arahan Rabbani (Q.S. 8:63). Merupakan cermin kekuatan iman (Q.S.49:10). 


Peringkat-peringkat ukhuwah, Pertama, Ta’aruf adalah saling mengenal sesama manusia. Saling mengenal antara kaum muslimin merupakan wujud nyata ketaatan kepada perintah Allah SWT (Q.S. Al Hujurat: 13). Kedua, Tafahum adalah saling memahami. Hendaknya seorang muslim memperhatikan keadaan saudaranya agar bisa bersegera memberikan pertolongan sebelum saudaranya meminta, karena pertolongan merupakan salah satu hak saudaranya yang harus ia tunaikan. Ketiga, Ta’awun adalah saling membantu tentu saja dalam kebaikan dan meninggalkan kemungkaran Terkait dengan persaudaraan, ada tiga macam. Pertama, waashilu rohmi. Orang yang mau menghubungkan kekerabatan kepada orang lain tanpa pamrih. Kedua, mukaafii.Orang yang mau silaturahim, tetapi dengan syarat kalau orang lain mau juga bersilaturrahim. Ketiga, qoothi’ur rohmi. Orang yang memutuskan hubungan silaturrahmi. 

Berawal dari rasa gengsi, tidak mau minta maaf kepada orang lain inilah yang kemudian menimbulkan keretakan-keretakan antara satu dengan yang lain. Dalam Al-Qur’an kata-kata akhun (persaudaraan) disebut sebanyak 52 kali, ikhwatun sebanyak 7 kali. Di antaranya adalah surah al Hujurat ; 10 yang maknanya : Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. 

Ukhuwah dibedakan menjadi tiga, pertama, Ukhuwah Islamiyah, yakni persaudaraan yang didasari karena sesama muslim. Tidak melihat etnis, bangsa, maupun negaranya. Jika mereka muslim, maka mereka adalah saudara kita. Kedua, ukhuwah wathoniah, yakni persaudaraan yang lahir karena kesamaan bangsa dan negara. Apapun agama dan apapun sukunya, jika mereka bangsa Indonesia, mereka adalah saudara kita. Ketiga, ukhuwah basyariyah. Persaudaraan berdasarkan kesadaraan sesama manusia. Tidak melihat bangsa mana, etnis apa, agama apa, jika mereka manusia, mereka adalah saudara kita. 

Konsekwensi ukhuwah, adalah pertama, atta’aawun (saling menolong). Saling membantu jika mereka membutuhkan sedangkan kita mampu dan bisa. Kedua, at tanaashur (saling mendukung). Di saat mereka terkena musibah, mereka saling mendukung, siapapun mereka. Ketiga, at tasaamuh (saling toleransi). Tentu toleransi di sini dalam hal-hal seremonial, tidak dalam hal ritual. Karena dalam aqidah tidak boleh untuk dicampur adukkan. Karena iman harus murni, tidak tercampur dengan yang lain. Keempat, at taraahum (saling mengasihi). Saling menyayangi antara satu dengan yang lain. Rasulullah SAW bersabda : idza fa’ala ummatiy khomsata asyyaa’, halla bihal balaa’ fal yartakibu ‘nda dzaalik, riihan hamraa’a, au khusman au masran. Uquuqul waalidaini, wa yafsuz zinaa, wa yusyrobul khomru, wa sulthoonun nisaa’, waathaa’ar rojulu zaujatahu (apabila umat u menjalankan lima hal, maka mereka akan mendapatkan musibah, baik berupa angin merah (pagebluk, jenis penyakit), atau saling memusuhi, satu sama lain. Yaitu pertama, durhaka kepada kedua orang tua. Kedua, merebaknya perbuatan zina. Ketiga, banyaknya orang yang minum khomr. Keempat, pemimpin negara perempuan. Keempat, laki-laki menjadi penurut terhadap isterinya). 

Semoga kita bisa menjadi orang yang menjalin kekerabatan dengan yang lain. Jika terjadi gesekan-gesekan, mari kita cepat sadar, mumpung masih dalam momentum bulan suci Ramadhan. Selanjutnya mari perkuat ketaqwaan kita, sehingga bisa menjalin ukhuwah dengan baik. Tidak hanya terbatas pada retorika, namun diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. 


Memurnikan Niat, Menyongsong Bulan Ramadhan

Drs. H Saiful Jazil, M.Ag

Para ushuliyiin menggunakan satu kaidah : Al umuuru bimaqaashidihaa (semua urusan itu tergantung maksudnya). Kaidah ini didasarkan satu hadis yang diriwayatkan dari sayyidina Umr bin Khatab r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda : Segala sesuatu perbuatan, tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap perkara hanya sesuai dengan niatnya. Bahkan di riwayat yang lain menyebutkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda : Banyak amal perbuatan yang secara lahir tampak perbuatan ukhrawi, tetapi bernilai ukhrowi, karena niat yang salah. Begitu pula sebaliknya, betapa banyak perbuatan yang tampak secara lahir termasuk perbuatan duniawi, tetapi di hadapan Allah termasuk perbuatan ukhrawi, karena niatnya baik dan benar. 

Puasa merupakan perbuatan ibadah ruhiyah. Hanya dia dan Allah SWT yang tahu. Karena itu, niat adalah merupakan satu-satunya tolok ukur, apakah puasa itur bernilai sebagai ibadah, atau hanya mendapatkan lapar dan dahaga. Maka, berbahagialah bagi kita umat Islam yang mampu meluruskan dan memurnikan niat. Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa yang berpuasa di bulan suci Ramadhan didasari dengan iman dan niat yang ikhlas karena Allah semata, maka dia akan mendapat ampunan dari Allah dari dosa yang telah dilakukan”. 

Pernah suatu saat Siti Aisyah R.A. mengadu kepada Nabi. Ya Rasulullah, kita sudah menikah lama, tetapi hingga sekarang belum dikarunia anak oleh Allah SWT, bagaimana seandainya kami membeli seorang budak di pasar, agar ada yang menemani aku di saat engkau bepergian, sehingga aku tidak kesepian, dan ada yang membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Setelah Rasulullah mengijinkan, Siti Aisyah berangkat ke pasar dan membeli seorang budak sebagaimana yang diinginkan. Begitu budak ini dibayar, dan masih di tengah jalan tiba-tiba malaikat Jibril datang, Ya Rasulullah, budak yang baru saja dibeli oleh isterimu itu, jangan sekali-kali engkau ijinkan masuk ke rumahmu. Rasulullah bertanya : Mengapa demikian ya Jibril? Karena catatannya di sisi Allah sebagai calon penghuni neraka, tak layak, dan tak patut sebagai calon penghuni neraka masuk menjadi ahlul bait, bersama dengan Rasulullah SAW yang semua keluarganya disucikan oleh Allah. (QS Al Ahzab : 33). 

Mendengar ini, Rasulullah SAW langsung mencegat jangan sampai budak yang dibeli Aisyah itu masuk rumah. Begitu sampai di hadapannya, beliau langsung memberitahu sebagaimana yang dikatakan oleh malaikat Jibril tadi. Mendengar berita itu, budak itu menangis tersedu-sedu, karena harapannya yang ingin menjadi bagian dari keluarga Rasulullah pupus. Dan saat itu juga Rasulullah bersabda : Hari ini aku akan memerdekakanmu, sehingga kamu sekarang bebas seperti orang yang merdeka pada umumnya dan silakan kamu pulang!. Mendengar Rasulullah mengatakan seperti itu, budak ini tidak berhenti menangis. Melihat reaksinya seperti itu, Rasulullah SAW tidak tega, lalu beliau masuk ke rumah untuk mencari sesuatu untuk menghibur hatinya. Diriwayatkan, bahwa ternyata Rasulullah hanya menemukan satu biji buah kurma. Sambil memberikannya beliau bersabda : Semoga, satu biji buah kurma ini bermanfaat bagi kehidupanmu di masa yang akan datang. 

Di perjalanan, satu biji kurma dari Rasulullah itu dimakan sedikit demi sedikit, hingga tinggal separo. Di tengah jalan itu ada seorang pengemis yang kelaparan dan meminta kurma tersebut, tanpa berfikir panjang, karena yang ia punya hanya satu biji buah kurma yang tinggal separo itu, maka diberikanyalah itu kepada pengemis kelaparan tersebut, dan tampaknya langsung dimakannya. Dalam waktu bersamaan malaikat Jibril datang kedua kalinya kepada Rasulullah dan berkata : Ya Rasulullah, budak yang baru kau suruh pergi tadi, tolong panggil lagi kemari ! Rasulullah menjawab : Ya Jibril, kenapa kau suruh memanggil budak itu kembali, padahal baru saja kau suruh aku memulangkannya, sebenarnya apa yang terjadi ? Jibril menjawab : Budak tadi di tengah jalan bershodaqah dengan separo buah kurma yang kau berikan tadi kepada seorang pengemis yang kelaparan. Dan karena kebersihan niatnya hanya karena Allah ta’aalaa, akhirnya tercatat suatu kebajikan di sisi Allah. Itulah yang merubah takdirnya, dan sekarang dia adalah calon penghuni surga. Ketika itu, spontan Rasulullah SAW bersabda : ittaqun naaro walau bisikki tsamrotin (jagalah dirimu dari sentuhan api neraka walapun dengan separo buah kurma). 

Inilah, suatu perbuatan walaupun kelihatan sepele, tetapi bernilai luar biasa di hadapan Allah SWT. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda : “Niatnya orang beriman itu lebih mulia daripada perbuatannya”. Hal ini relevan dengan firman Allah surah al Zalzalah : 7-8. Yang maknanya : Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula. 

Semoga apa yang saya sampaikan ini bermanfaat bagi kita, sehingga puasa yang sebentar lagi akan kita lakukan bisa menjadi puasa yang menyebabkan diampuninya dosa kita oleh Allah. Amien. 


Mempertahankan Fithrah Manusia


Fithrah, berasal dari kata "fathara", yang asal artinya mencipta. Maka fithrah adalah ciptaan. Sering pula disebut ciptaan aseli (alkhilqah alibtidaiyah), bukan tiruan dan bukan imitasi. Islam, disebut fithrah, karena Islam itu adalah ciptaan asli Allah, yang juga menjadi asli kejiwaan manusia. Sehingga fithrah manusia itu ialah keberagamaan Islam itu adalah jiwa asli manusia. (Qs ar-Rum 30). 

Maksudnya, bahwa Allah, menciptakan manusia dengan mempunyai naluri beragama tauhid. Dan agama tauhid itu adalah Islam. Yaitu agama yang dibawa oleh semua nabi, sejak nabi Adam As sampai nabi terakhir, Nabi Muhammad SAW. (QS Ali Imran 19). 

Kehadiran Muhammad dengan membawa agama tauhid ini, sebenarnya sudah ditunggu-tunggu oleh ahli kitab. Dalam hal ini ialah Yahudi dan Nashrani. Karena namanya sudah termaktub dalam Taurat maupun Injil, dengan nama Farclit dalam bahasa Ibrani yang artinya terpuji, sama dengan Ahmad dan Muhammad. Tetapi kemudian diingkari, karena beliau ini disinyalir bukan dari suku mereka Bani Israil. 

Islam disebut agama fitrah karena Islam adalah agama yang mengajarkan kesucian dan kebersihan, fisik maupun rahani. Fithrah dalam arti kesucian ini, sering dikaitkan dengan puasa, karena puasa itu dapat mensucikan jiwa manusia, utamanya dari segala dosa, yang notabene adalah mengo-tori jiwa dan perilaku. 


Puasa ini diakhiri dengan "zakat" yang disebut "zakatul fithri", yang kita kenal dengan zakat fithrah / zakat fitrah. Yakni, zakat atau mengeluarkan harta untuk membaiat diri kita suci dan bersih. 

Fithrah dalam dua pengertian ini harus dipertahankan sampai datanglah ajal merenggut. Karena fithrah adalah hakikat kehidupan kita sebagai manusia ini, seperti disebutkan di atas. Dan mempertahankan fithar seperti itu, sangat penting karena ada keterkaitannya dengan kehidupan kita di dunia ini sebagai khalifatullah fil ardhi dan karena ada keterkaitannya dengan kehidupan di akhirat kelak, sedang fithrah ini sangat menentukan baik dan buruknya kehidupan itu. Bahkan kalau sekarang ini kita hidup dalam Negara yang sedang dirundung krisis, terutama krisis moral dan krisis amanat, yaitu dengan semakin merajalelanya korupsi dengan arti yang luas, yang benar-benar mengancam akan existensi Negara, maka memper-tahankan fithrah adalah suatu keniscayaan.